AGEN POKER - Usia
Bu Harjono sebenarnya tidak muda lagi. Mungkin menjelang 50 tahun.
Sebab suaminya, Pak Harjono yang menjabat Ketua RT di kampungku,
sebentar lagi memasuki masa pensiun. Aku mengetahui itu karena
hubunganku dengan keluarga Pak Harjono cukup dekat. Maklum sebagai
tenaga muda aku sering diminta Pak Harjono untuk membantu berbagai
urusan yang berkaitan dengan kegiatan RT.Namun berbeda dengan
suaminya yang sering sakit-sakitan, sosok istrinya wanita beranak
yang kini menetap di luar Jawa mengikuti tugas sang suami itu, jauh
berkebalikan. Kendati usianya hampir memasuki kepala lima, Bu Har
(begitu biasanya aku dan warga lain memanggil) sebagai wanita belum
kehilangan daya tariknya. Memang beberapa kerutan mulai nampak di
wajahnya. Tetapi buah dadanya, pinggul dan pantatnya, sungguh masih
mengundang pesona. Aku dapat mengatakan ini karena belakangan
terlibat perselingkuhan panjang dengan wanita berpostur tinggi besar
tersebut.Kisahnya berawal ketika Pak Harjono mendadak menderita sakit
cukup serius. Ia masuk rumah sakit dalam keadaan koma dan bahkan
berhari-hari harus berada di ruang ICU (Intensive Care Unit) sebuah
RS pemerintah di kotaku. Karena ia tidak memiliki anggota keluarga
yang lain sementara putri satu-satunya berada di luar Jawa, aku
diminta Bu Har untuk membantu menemaninya selama suaminya berada di
RS menjalani perawatan. Dan aku tidak bisa menolak karena memang
masih menganggur setamat SMA setahun lalu.?Kami bapak-bapak di
lingkungan RT memita Mas Rido mau membantu sepenuhnya keluarga Pak
Harjono yang sedang tertimpa musibah. Khususnya untuk membantu dan
menemani Bu Har selama di rumah sakit. Mau kan Mas Rido,?? Begitu
kata beberapa anggota arisan bapak-bapak kepadaku saat menengok ke
rumah sakit. Bahkan Pak Nandang, seorang warga yang dikenal dermawan
secara diam-diam menyelipkan uang Rp 100 ribu di kantong celanaku
yang katanya untuk membeli rokok agar tidak menyusahkan Bu Har. Dan
aku tidak bisa menolak karena memang Bu Har sendiri telah memintaku
untuk menemaninya.Hari-hari pertama mendampingi Bu Har merawat
suaminya di RS aku dibuat sibuk. Harus mondar-mandir menebus obat
atau membeli berbagai keperluan lain yang dibutuhkan. bahkan kulihat
wanita itu tak sempat mandi dan sangat kelelahan. Mungkin karena
tegang suaminya tak kunjung siuman dari kondisi komanya. Menurut
dokter yang memeriksa, kondisi Pak Harjono yang memburuk diduga
akibat penyakit radang lambung akut yang diderita. Maka akibat
komplikasi dengan penyakit diabetis yang diidapnya cukup lama, daya
tahan tubuhnya menjadi melemah.Menyadari penyakit yang diderita
tersebut, yang kata dokter proses penyembuhannya dapat memakan waktu
cukup lama, berkali-kali aku meminta Bu Har untuk bersabar. ?Sudahlah
bu, ibu pulang dulu untuk mandi atau beristirahat. Sudah dua hari
saya lihat ibu tidak sempat mandi. Biar saya yang di sini menunggui
Pak Har,? kataku menenangkan.Saranku rupanya mengena dan diterima.
Maka siang itu, ketika serombongan temannya dari tempatnya mengajar
di sebuah SLTP membesuk (oh ya Bu Har berprofesi sebagai guru sedang
Pak Har karyawan sebuah instansi pemerintah), ia meminta para
pembesuk untuk menunggui suaminya. ?Saya mau pulang dulu sebentar
untuk mandi diantar Nak Rido. Sudah dua hari saya tidak sempat
mandi,? katanya kepada rekan-rekannya.Dengan sepeda motor milik Pak
Har yang sengaja dibawa untuk memudahkan aku kemana-mana saat diminta
tolong oleh keluarga itu, aku pulang memboncengkan Bu Har. Tetapi di
perjalanan dadaku sempat berdesir. Gara-gara mengerem mendadak motor
yang kukendarai karena nyaris menabrak becak, tubuh wanita yang
kubonceng tertolak ke depan. Akibatnya di samping pahaku tercengkeram
tangan Bu Har yang terkaget akibat kejadian tak terduga itu,
punggungku terasa tertumbuk benda empuk. Tertumbuk buah dadanya yang
kuyakini ukurannya cukup besar.Ah, pikiran nakalku jadi mulai liar.
Sambil berkonsentrasi dengan sepeda motor yang kukendarai, pikiranku
berkelana dan mengkira-kira membayangkan seberapa besar buah dada
milik wanita yang memboncengku. Pikiran kotor yang semestinya tidak
boleh timbul mengingat suaminya adalah seorang yang kuhormati sebagai
Ketua RT di kampungku. Pikiran nyeleneh itu muncul, mungkin karena
aku memang sudah tidak perjaka lagi. Aku pernah berhubungan seks
dengan seorang WTS kendati hanya satu kali. Hal itu dilakukan dengan
beberapa teman SMA saat usai pengumuman hasil Ebtanas.Setelah
mengantar Bu Har ke rumahnya yang berjarak sekitar 100 meter dari
rumahku, aku pamit pulang mengambil sarung dan baju untuk ganti.
?Jangan lama-lama nak Rido, ibu cuma sebentar kok mandinya. Lagian
kasihan teman-teman ibu yang menunggu di rumah sakit,? katanya.Dan
sesuai yang dipesannya, aku segera kembali ke rumah Pak Har setelah
mengambil sarung dan baju. Langsung masuk ke ruang dalam rumah Pak
Har. Ternyata, di meja makan telah tersedia segelas kopi panas dan
beberapa potong kue di piring kecil. Dan mengetahui aku yang datang,
terdengar suara Bu Har menyuruhku untuk menikmati hidangan yang
disediakan. ?Maaf Nak Rido, ibu masih mandi. Sebentar lagi selesai,?
suaranya terdengar dari kamar mandi di bagian belakang.Tidak terlalu
lama menunggu, Ia keluar dari kamar mandi dan langsung menuju ke
kamarnya lewat di dekat ruang makan tempatku minum kopi dan makan
kue. Saat itu ia hanya melilitkan handuk yang berukuran tidak terlalu
besar untuk menutupi tubuhnya yang basah. Tak urung, kendati
sepintas, aku sempat disuguhi pemandangan yang mendebarkan. Betapa
tidak, karena handuk mandinya tak cukup besar dan lebar, maka tidak
cukup sempurna untuk dapat menutupi ketelanjangan tubuhnya.Ah,..
benar seperti dugaanku, buah dada Bu Har memang berukuran besar.
Bahkan terlihat nyaris memberontak keluar dari handuk yang
melilitnya. Bu Har nampaknya mengikat sekuatnya belitan handuk yang
dikenakanannya tepat di bagian dadanya. Sementara di bagian bawah,
karena handuk hanya mampu menutup persis di bawah pangkal paha, kaki
panjang wanita itu sampai ke pangkalnya sempat menarik tatap mataku.
Bahkan ketika ia hendak masuk ke kamarnya, dari bagian belakang
terlihat mengintip buah pantatnya. Pantat besar itu bergoyang-goyang
dan sangat mengundang saat ia melangkah. Dan ah, .. yang tak kalah
syur, ia tidak mengenakan celana dalam.Bicara ukuran buah dadanya,
mungkin untuk membungkusnya diperlukan Bra ukuran 38 atau lebih.
Sebagai wanita yang telah berumur, pinggangnya memang tidak seramping
gadis remaja. Tetapi pinggulnya yang membesar sampai ke pantatnya
terlihat membentuk lekukan menawan dan sedap dipandang. Apalagi kaki
belalang dengan paha putih mulus miliknya itu, sungguh masih
menyimpan magnit. Maka degup jantungku menjadi kian kencang terpacu
melihat bagian-bagian indah milik Bu Har. Sayang cuma sekilas, begitu
aku membatin.Tetapi ternyata tidak. Kesempatan kembali terulang.
Belum hilang debaran dadaku, ia kembali keluar dari kamar dan masih
belum mengganti handuknya dengan pakaian. Tanpa mempedulikan aku yang
tengah duduk terbengong, ia berjalan mendekati almari di dekat
tempatku duduk. Di sana ia mengambil beberapa barang yang diperlukan.
Bahkan beberapa kali ia harus membungkukkan badan karena sulitnya
barang yang dicari (seperti ia sengaja melakukan hal ini).Tak urung,
kembali aku disuguhi tontonan yang tak kalah mendebarkan. Dalam jarak
yang cukup dekat, saat ia membungkuk, terlihat jelas mulusnya
sepasang paha Bu Har sampai ke pangkalnya. Paha yang sempurna , putih
mulus dan tampak masih kencang. Dan ketika ia membungkuk cukup lama,
pantat besarnya jadi sasaran tatap mataku. Kemaluannya juga terlihat
sedikit mengintip dari celah pangkal pahanya. Perasaanku menjadi
tidak karuan dan badanku terasa panas dingin dibuatnya.Apakah Bu Har
menganggap aku masih pemuda ingusan? Hingga ia tidak merasa canggung
berpakaian seronok di hadapanku? Atau ia menganggap dirinya sudah
terlalu tua hingga mengira bagian-bagian tubuhnya tidak lagi
mengundang gairah seorang laki-laki apalagi laki-laki muda sepertiku?
Atau malah ia sengaja memamerkannya agar gairahku terpancing?
Pertanyaan-pertanyaan itu serasa berkecamuk dalam hatiku. Bahkan
terus berlanjut ketika kami kembali berboncengan menuju rumah
sakit.Dan yang pasti, sejak saat itu perhatianku kepada Bu Har
berubah total. Aku menjadi sering mencuri-curi pandang untuk dapat
menatapi bagian-bagian tubuhnya yang kuanggap masih aduhai. Apalagi
setelah mandi dan berganti pakaian, kulihat ia mengenakan celana dan
kaos lengan panjang ketat yang seperti hendak mencetak tubuhnya.
Gairahku jadi kian terbakar kendati tetap kupendam dalam-dalam. Dan
perubahan yang lain, aku sering mengajaknya berbincang tentang apa
saja di samping selalu sigap mengerjakan setiap ia membutuhkan
bantuan. Hingga hubungan kami semakin akrab dari waktu ke
waktu.Sampai suatu malam, memasuki hari kelima kami berada di rumah
sakit, saat itu hujan terus mengguyur sejak sore hari. Maka
orang-orang yang menunggui pasien yang dirawat di ruang ICU, sejak
sore telah mengkapling-kapling teras luar bangunan ICU. Maklum, di
malam hari penunggu tidak boleh memasuki bagian dalam ruang ICU. Dan
pasien biasanya memanfaatkan teras yang ada untuk tiduran atau duduk
mengobrol. Dan malam itu, karena guyuran hujan, lahan untuk tidur
jadi menyempit karena pada beberapa bagian tempias oleh air hujan.
Sementara aku dan Bu Har yang baru mencari kapling setelah makan
malam di kantin, menjadi tidak kebagian tempat.Setelah mencari cukup
lama, akhirnya aku mengusulkan untuk menggelar tikar dan karpet di
dekat bangunan kamar mayat. Aku mengusulkan itu karena jaraknya masih
cukup dekat dengan ruang ICU dan itu satu-satunya tempat yang
memungkinkan untuk berteduh kendati cukup gelap karena tidak ada
penerangan di sana. Awalnya Bu Har menolak, karena posisinya di dekat
kamar mayat. Namun akhirnya ia menyerah setelah mengetahui tidak ada
tempat yang lain dan aku menyatakan siap berjaga sepanjang
malam.?Janji ya Rid (setelah cukup akrab Bu Har tidak
mengembel-embeli sebutan Nak di depan nama panggilanku), kamu harus
bangunkan ibu kalau mau kencing atau beli rokok. Soalnya ibu takut
ditinggal sendirian,? katanya.?Wah, persediaan rokokku lebih dari
cukup kok bu. Jadi tidak perlu kemana-mana lagi,? jawabku.Nyaman juga
ternyata menempati kapling dekat kamar mayat. Bisa terbebas dari
lalu-lalang orang hingga bisa beristirahat cukup tenang. Dan kendati
gelap tanpa penerangan, bisa terbebas dari cipratan air hujan karena
tempat kami menggelar tikar dan karpet terlindung oleh tembok
setinggi sekitar setengah meter. Sambil tiduran agak merapat karena
sempitnya ruang yang ada, Bu Har mengajakku ngobrol tentang banyak
hal. Dari soal kerinduannya pada Dewi, anaknya yang hanya bisa pulang
setahun sekali saat lebaran sampai ke soal penyakit yang diderita Pak
Harjono. Menurut Bu Har penyakit diabetis itu diderita suaminya sejak
delapan tahun lalu. Dan karena penyakit itulah penyakit radang
lambung yang datang belakangan menjadi sulit disembuhkan.?Katanya
penyakit diabetes bisa menjadikan laki-laki jadi impotensi ya
Bu???Kata siapa, Rid???Eh,.. anu, kata artikel di sebuah koran,?
jawabku agak tergagap.Aku merasa tidak enak berkomentar seperti itu
terhadap penyakit yang diderita suami Bu Har.?Rupanya kamu gemar
membaca ya. Benar kok itu, makanya penyakit kencing manis di samping
menyiksa suami yang mengidapnya juga berpengaruh pada istrinya.
Untung ibu sudah tua,? ujarnya lirih.Merasa tidak enak topik
perbincangan itu dapat membangkitkan kesedihan Bu Har, akhirnya aku
memilih diam. Dan aku yang tadinya tiduran dalam posisi telentang,
setelah rokok yang kuhisap kubuang, mengubah posisi tidur memunggungi
wanita itu. Sebab kendati sangat senang bersentuhan tubuh dengan
wanita itu, aku tidak mau dianggap kurang ajar. Sebab aku tidak tahu
secara pasti jalan pikiran Bu Har yang sebenarnya. Tetapi baru saja
aku mengubah posisi tidur, tangan Bu Har terasa mencolek
pinggangku.?Tidurmu jangan memunggungi begitu. Menghadap ke sini, ibu
takut,? katanya lirih.Aku kembali ke posisi semula, tidur telentang.
Namun karena posisi tidur Bu Har kelewat merapat, maka saat berbalik
posisi tanpa sengaja lenganku menyenggol buah dada wanita itu. Memang
belum menyentuh secara langsung karena ia mengenakan daster dan
selimut yang menutupi tubuhnya. Malangnya, Bu Har bukannya menjauh
atau merenggangkan tubuh, tetapi malah semakin merapatkan tubuhnya ke
tubuhku. Seperti anak kecil yang ketakutan saat tidur dan mencari
perasaan aman pada ibunya.Akhirnya, dengan keberanian yang kupaksakan
- karena ku yakin saat itu Bu Har belum pulas tertidur - aku mulai
mencoba-coba. Seperti yang dimauinya, aku mengubah kembali posisi
tidur miring menghadapinya. Jadilah sebagian besar tubuhku merapat
ketat ke tubuhnya hingga terasa kehangatan mulai menjalari tubuhku.
Sampai di situ aku berbuat seolah-olah telah mulai lelap tertidur
sambil menunggu reaksinya.Reaksinya, Bu Har terbangkit dan menarik
selimut yang dikenakannya. Selimut besar dan tebal itu ditariknya
untuk dibentangkan sekaligus menutupi tubuhku. Jadilah tubuh kami
makin berhimpitan di bawah satu selimut. Akhirnya, ketika aku nekad
meremas telapak tangannya dan ia membalas dengan remasan lembut, aku
jadi mulai berani beraksi lebih jauh.Kumulai dengan menjalari pahanya
dari luar daster yang dikenakannya dengan telapak tanganku. Ia
menggelinjang, tetapi tidak menolakkan tanganku yang mulai nakal itu.
Malah posisi kakinya mulai direnggangkan yang memudahkanku menarik ke
atas bagian bawah dasternya. Baru ketika usapan tanganku mulai
menjelajah langsung pada kedua pahanya, kuketahui secara pasti ia
tidak menolaknya. Tanganku malah dibimbingnya untuk menyentuh
kemaluannya yang masih tertutup celana dalam.Seperti keinginanku dan
juga keinginannya, telapak tanganku mulai menyentuh dan mengusap
bagian membusung yang ada di selangkangan wanita itu. Ia mendesah
lirih saat usapan tanganku cukup lama bermain di sana. Juga saat
tanganku yang lain mulai meremasi buah dadanya dari bagian luar Bra
dan dasternya. Sampai akhirnya, ketika tanganku yang beroperasi di
bagian bawah telah berhasil menyelinap ke bagian samping celana dalam
dan berhasil mencolek-colek celah kemaluannya yang banyak ditumbuhi
rambut, dia dengan suka rela memereteli sendiri kancing bagian depan
dasternya. Lalu seperti wanita yang hendak menyusui bayinya,
dikeluarkannya payudaranya dari Bra yang membungkusnya.Layaknya bayi
yang tengah kelaparan mulutku segera menyerbu puting susu sebelah
kiri milik Bu Har. Kujilat-jilat dan kukulum pentilnya yang terasa
mencuat dan mengeras di mulutku. Bahkan karena gemas, sesekali
kubenamkan wajahku ke kedua payudara wanita itu. Payudara berukuran
besar dan agak mengendur namun masih menyisakan kehangatan.Sementara
Ia sendiri, sambil terus mendesis dan melenguh nikmat oleh segala
gerakan yang kulakukan, mulai asyik dengan mainannya. Setelah
berhasil menyelinap ke balik celana pendek yang kukenakan, tangannya
mulai meremas dan meremas penisku yang memang telah mengeras. Kata
teman-temanku, senjataku tergolong long size, hingga Ia nampak
keasyikkan dengan temuannya itu. Tetapi ketika aku hendak menarik
celana dalamnya, tubuhnya terasa menyentak dan kedua pahanya
dirapatkan mencoba menghalangi maksudku.?Mau apa Rid,.. jangan di
sini ah nanti ketahuan orang,? katanya lirih.?Ah, tidak apa-apa gelap
kok. Orang-orang juga sudah pada tidur dan tidak bakalan kedengaran
karena hujannya makin besar.?Hujan saat itu memang semakin
deras.Entah karena mempercayai omonganku. Atau karena nafsunya yang
juga sudah memuncak terbukti dengan semakin membanjirnya cairan di
lubang kemaluannya, ia mau saja ketika celananya kutarik ke bawah.
Bahkan ia menarik celana dalamnya ketika aku kesulitan melakukannya.
Ia juga membantu membuka dan menarik celana pendek dan celana dalam
yang kukenakan.Akhirnya, dengan hanya menyingkap daster yang
dikenakannya aku mulai menindih tubuhnya yang berposisi mengangkang.
Karena dilakukan di dalam gelap dan tetap dibalik selimut tebal yang
kupakai bersama untuk menutupi tubuh, awalnya cukup sulit untuk
mengarahkan penisku ke lubang kenikmatannya. Namun berkat bimbingan
tangan lembutnya, ujung penisku mulai menemukan wilayah yang telah
membasah. Slep? penis besarku berhasil menerobos dengan mudah liang
sanggamanya.Aku mulai menggoyang dan memaju-mundurkan senjataku
dengan menaik-turunkan pantatku. Basah dan hangat terasa setiap
penisku membenam di vaginanya. Sementara sambil terus meremasi kedua
buah dadanya secara bergantian, sesekali bibirnya kulumat. Maka ia
pun melenguh tertahan, melenguh dan mengerang tertahan. Ah, dugaanku
memang tidak meleset tubuhnya memang masih menjanjikan kehangatan.
Kehangatan yang prima khas dimiliki wanita berpengalaman.Dihujam
bertubi-tubi oleh ketegangan penisku di bagian kewanitannya, Ia mulai
mengimbangi aksiku. Pantat besar besarnya mulai digerakkan memutar
mengikuti gerakan naik turun tubuhku di bagian bawah. Memutar dan
terus memutar dengan gerak dan goyang pinggul yang terarah. Hal itu
menjadikan penisku yang terbenam di dalam vaginanya serasa diremas.
Remasan nikmat yang melambungkan jauh anganku entah kemana. Bahkan
sesekali otot-otot yang ada di dalam vaginanya seolah menjepit dan
mengejang.?Ah,.. ah.. enak sekali. Terus, ah.. ah,??Aku juga enak
Rid, uh.. uh? uh. Sudah lama sekali tidak merasakan seperti ini.
Apalagi punyamu keras dan penjang. Auh,.. ah.. ah,?Sampai akhirnya,
aku menjadi tidak tahan oleh goyangan dan remasan vaginanya yang kian
membanjir. Nafsuku kian naik ke ubun-ubun dan seolah mau meledak.
Gerakan bagian bawah tubuhku kian kencang mencolok dan mengocok
vaginanya dengan penisku.?Aku tidak tahan, ah.. ah.. Sepertinya mau
keluar, shhh, ah, .. ah,??Aku juga Rid, terus goyang, ya .. ya,..
ah,?Setelah mengelojot dan memuntahkan segala yang tak dapat
kubendungnya, aku akhirnya ambruk di atas tubuh wanita itu. Maniku
cukup banyak menyembur di dalam lubang kenikmatannya. Begitupun Ia,
setelah kontraksi otot-otot yang sangat kencang, ia meluapkan
ekspresi puncaknya dengan mendekap erat tubuhku. Dan bahkan kurasakan
punggungku sempat tercakar oleh kuku-kukunya. Cukup lama kami terdiam
setelah pertarungan panjang yang melelahkan.?Semestinya kita tidak
boleh melakukan itu ya Rid. Apalagi bapak lagi sakit dan tengah
dirawat,? kata Ia sambil masih tiduran di dekatku.Aku mengira ia
menyesal dengan peristiwa yang baru terjadi itu.?Ya Maaf,.. soalnya
tadi,..??Tetapi tidak apa-apa kok. Saya juga sudah lama ingin
menikmati yang seperti itu. Soalnya sejak 5 tahun lebih Pak Har
terkena diabetis, ia menjadi sangat jarang memenuhi kewajibannya.
Bahkan sudah dua tahun ini kelelakiannya sudah tidak berfungsi lagi.
Cuma, kalau suatu saat ingin melakukannya lagi, kita harus hati-hati.
Jangan sampai ada yang tahu dan menimbulkan aib diantara kita,?
ujarnya lirih.Plong, betapa lega hatiku saat itu. Ia tidak marah dan
menyesal dengan yang baru saja terjadi. Dan yang membuatku senang,
aku dapat melampiaskan hasrat terpendamku kepadanya. Kendati aku
merasa belum puas karena semuanya dilakukan di kegelapan hingga
keinginanku melihat ketelanjangan tubuhnya belum kesampaian.Dan
seperti yang dipesankannya, aku berusaha mencoba bersikap sewajar
mungkin saat berada diantara orang-orang. Seolah tidak pernah terjadi
sesuatu yang luar biasa diantara kami. Kendati aku sering harus
menekan keinginan yang menggelegak akibat darah mudaku yang gampang
panas saat berdekatan dengannya. Dan sejak itu lokasi teras di
belakang kamar mayat menjadi saksi sekitar tiga kali hubungan sumbang
kami. Hubungan sumbang yang terpaksa kuhentikan seiring kedatangan Bu
Hartini, adik Pak Harjono yang bermaksud menengok kondisi sakit
kakaknya. Hanya terus terang, sejak kehadirannya ada perasaan kurang
senang pada diriku. Sebab sejak Ia ada yang menemani merawat suaminya
di rumah sakit, kendati aku tetap diminta untuk membantu mereka dan
selalu berada di rumah sakit, aku tidak lagi dapat menyalurkan hasrar
seksualku. Hanya sesekali kami pernah nekad menyalurkannya di kamar
mandi ketika hasrat yang ada tak dapat ditahan. Itu pun secara
kucing-kucingan dengan Bu Tini dan segalanya dilaksanakan secara
tergesa-gesa hingga tetap tidak memuaskan kami berdua.Sampai suatu
ketika, saat Pak Har telah siuman dan perawatannya telah dialihkan ke
bangsal perawatan yang terpisah, Bu Tini menyarankan kepada Ia untuk
tidur di rumah.?Kamu sudah beberapa hari kurang tidur Mbak,
kelihatannya sangat kelelahan. Coba kamu kalau malam tidur barang
satu dua hari di rumah hingga istirahat yang cukup dan tidak jatuh
sakit. Nanti kalau kedua-duanya sakit malah merepotkan. Biar yang
nunggu Mas Har kalau malam aku saja diteman Dik Rido kalau mau?
ujarnya.Ia setuju dengan saran adik iparnya. Ia memutuskan untuk
tidur di rumah malam itu. Maka hatiku bersorak karena terbuka peluang
untuk menyetubuhinya di rumah. Tetapi bagaimana caranya pamit pada Bu
Tini? Kalau aku ikut-ikutan pulang untuk tidur di rumah apa tidak
mengundang kecurigaan? Aku jadi berpikir keras untuk menemukan jalan
keluar. Dan baru merasa plong setelah muncul selintas gagasan di
benakku.Sekitar pukul 22.00 malam, lewat telepon umum kutelepon
rumahnya. Wanita itu masih terjaga dan menurut pengakuannya tengah
menonton televisi. Maka nekad saja kusampaikan niatku kepadanya. Dan
ternyata ia memberi sambutan cukup baik.?Kamu nanti memberi tanda
kalau sudah ada di dekat kamar ibu ya. Nanti pintu belakang ibu
bukakan. Dan sepeda motornya di tinggal saja di rumah sakit biar
tidak kedengaran tetangga. Kamu bisa naik becak untuk pulang,?
katanya berpesan lewat telepon.Untuk tidak mengundang kecurigaan,
sekitar pukul 23.00 aku masuk ke bangsal tempat Pak Har dirawat
menemani Bu Tini. Namun setengah jam sesudahnya, aku pamit keluar
untuk nongkrong bersama para Satpam rumah sakit seperti yang biasa
kulakukan setelah kedatangan Bu Tini. Di depan rumah sakit aku
langsung meminta seorang abang becak mengantarku ke kampungku yang
berjarak tak lebih dari satu kilometer. Segalanya berjalan sesuai
rencana. Setelah kuketuk tiga kali pintu kamarnya, kudengar suara Ia
berdehem. Dan dari pintu belakang rumah yang dibukakannya secara
pelan-pelan aku langsung menyelinap masuk menuju ruang tengah rumah
tersebut.Rupanya, bertemu di tempat terang membuat kami sama-sama
kikuk. Sebab selama ini kami selalu berhubungan di tempat gelap di
teras kamar mayat. Maka aku hanya berdiri mematung, sedang Ia duduk
sambil melihat televisi yang masih dinyalakannya. Cukup lama kami
tidak saling bicara sampai akhirnya Ia menarik tanganku untuk duduk
di sofa di sampingnya. Setelah keberanianku mulai bangkit, aku mulai
berani menatapi wanita yang duduk di sampingku. Ia ternyata telah
siap tempur. Terbukti dari daster tipis menerawang yang dikenakannya,
kulihat ia tidak mengenakan Bra di baliknya. Maka kulihat jelas
payudaranya yang membusung. Hanya, ketika tanganku mulai bergerilya
menyelusuri pangkal paha dan meremasi buah dadanya ia menolak
halus.?Jangan di sini Rid, kita ke kamar saja biar leluasa,? katanya
lirih.Ketika kami telah sama-sama naik ke atas ranjang besar di kamar
yang biasa digunakan oleh suami dan dia, aku langsung menerkamnya.
Semula Ia memintaku mematikan dulu saklar lampu yang ada di kamar
itu, tetapi aku menolaknya. ?Saya ingin melihat semua milikmu,?
kataku.?Tetapi aku malu Rid. Soalnya aku sudah tua,.?Persetan dengan
usia, dimataku, Ia masih menyimpan magnit yang mampu menggelegakkan
darah mudaku. Sesaat aku terpaku ketika wanita itu telah melolosi
dasternya. Dua buah gunung kembarnya yang membusung nampak telah
menggantung. Tetapi tidak kehilangan daya pikatnya. Buah dada yang
putih mulus dan berukuran cukup besar itu diujungnya terlihat kedua
pentilnya yang berwarna kecoklatan. Indah dan sangat menantang untuk
diremas. Maka setelah aku melolosi sendiri seluruh pakaian yang
kukenakan, langsung kutubruk wanita yang telah tiduran dalam posisi
menelentang. Kedua payudaranya kujadikan sasaran remasan kedua
tanganku. Kukulum, kujilat dan kukenyot secara bergantian
susu-susunya yang besar menantang. Kesempatan melihat dari dekat
keindahan buah dadanya membuat aku seolah kesetanan. Dan Ia, wanita
berhidung bangir dengan rambut sepundak itu menggelepar. Tangannya
meremas-remas rambut kepalaku mencoba menahan nikmat atas perbuatan
yang tengah kulakukan.Dari kedua gunung kembarnya, setelah beberapa
saat bermain di sana, dengan terus menjulurkan lidah dan menjilat
seluruh tubuhnya kuturunkan perhatianku ke bagian perut dan di bawah
pusarnya. Hingga ketika lidahku terhalang oleh celana dalam yang
masih dikenakannya, aku langsung memelorotkannya. Ah, vaginanya juga
tak kalah indah dengan buah dadanya. Kemaluan yang besar membusung
dan banyak ditumbuhi rambut hitam lebat itu, ketika kakinya dikuakkan
tampak bagian dalamnya yang memerah. Bibir vaginanya memang nampak
kecoklatan yang sekaligus menandakan bahwa sebelumnya telah sering
diterobos kemaluan suaminya. Tetapi bibir kemaluan itu belum begitu
menggelambir. Dan kelentitnya, yang ada di ujung atas, uh,.. mencuat
menantang sebesar biji jagung.Tak tahan cuma memelototi lubang
kenikmatan wanita itu, mulailah mulutku yang bicara. Awalnya mencoba
membaui dengan hidungku. Ah, ada bau yang meruap asing di hidungku.
Segar dan membuatku tambah terangsang. Dan ketika lidahku mulai
kumainkan dengan menjilat-jilat pelan di seputar bibir vaginanya
besar itu, Ia tampak gelisah dan menggoyang-goyang kegelian.?Ih,..
jangan diciumi dan dijilat begitu Rid. Malu ah, tapi, ah..ah..
ah,?Tetapi ia malah menggoyangkan bagian bawah tubuhnya saat mulutku
mencerucupi liang nikmatnya. Goyangannya kian kencang dan terus
mengencang. Sampai akhirnya diremasnya kepalaku ditekannya kuat-kuat
ke bagian tengah selangkannya saat kelentitnya kujilat dan kugigit
kecil. Rupanya ia telah mendapatkan orgasme hingga tubuhnya terasa
mengejang dan pinggulnya menyentak ke atas.?Seumur hidup baru kali
ini vaginaku dijilat-jilat begitu Rid, jadinya cepat kalah. Sekarang
gantian deh Aku mainkan punyamu,? ujarnya setelah sebentar mengatur
nafasnya yang memburu.Aku dimintanya telentang, sedang kepala dia
berada di bagian bawah tubuhku. Sesaat, mulai kurasakan kepala
penisku dijilat lidah basah milik wanita itu. Bahkan ia mencerucupi
sedikit air maniku yang telah keluar akibat nafsu yang kubendung.
Terasa ada senasi tersendiri oleh permainan lidahnya itu dan aku
menggelinjang oleh permainan wanita itu. Namun sebagai anak muda, aku
merasa kurang puas dengan hanya bersikap pasif. Terlebih aku juga
ingin meremas pantat besarnya yang montok dan seksi. Hingga aku
menarik tubuh bagian bawahnya untuk ditempatkan di atas kepalaku.
Pola persetubuhan yang kata orang disebut sebagai permainan 69.
Kembali vaginanya yang berada tepat di atas wajahku langsung menjadi
sasaran gerilya mulutku. Sementara pantat besarnya kuremas-remas
dengan gemas.Tidak hanya itu jilatan lidahku tidak berhenti hanya
bermain di seputar kemaluannya. Tetapi terus ke atas dan sampai ke
lubang duburnya. Rupanya ia telah membersihkannya dengan sabun baik
di kemaluannya maupun di anusnya. Maka tak sedikit pun meruap bau
kotoran di sana dan membuatku kian bernafsu untuk menjilat dan
mencoloknya dengan ujung lidahku. Tindakan nekadku rupanya membuat
nafsunya kembali naik ke ubun-ubun. Maka setelah ia memaksaku
menghentikan permainan 69, ia langsung mengubah posisi dengan
telentang mengangkang. Dan aku tahu pasti wanita itu telah menagih
untuk disetubuhi. Ia mulai mengerang ketika batang besar dan panjang
milikku mulai menerobos gua kenikmatannya yang basah. Hanya karena
kami sama-sama telah memuncak nafsu syahwatnya, tak lebih dari 10
menit saling genjot dan menggoyang dilakukan, kami telah sama-sama
terkapar. Ambruk di kasur empuk ranjang kenikmatannya. Ranjang yang
semestinya tabu untuk kutiduri bersama wanita itu.Malam itu, aku dan
dia melakukan persetubuhan lebih dari tiga kali. Termasuk di kamar
mandi yang dilakukan sambil berdiri. Dan ketika aku memintanya
kembali yang keempat kali, ia menolaknya halus.?Tubuh ibu cape sekali
Rid, mungkin sudah terlalu tua hingga tidak dapat mengimbangi orang
muda sepertimu. Dan lagi ini sudah mulai pagi, kamu harus kembali ke
rumah sakit agar Bu Tini tidak curiga,? katanya.Aku sempat mencium
dan meremas pantatnya saat Ia hendak menutup pintu belakang rumah
mengantarku keluar. Ah,.. indah dan nikmat rasanya.Usia Pak Har
ternyata tidak cukup panjang. Selama sebulan lebih dirawat di rumah
sakit, ia akhirnya meninggal setelah sebelumnya sempat dibawa RS yang
lebih besar di Semarang. Di Semarang, aku pun ikut menunggui
bersamanya serta Bu Tini selama seminggu. Juga ada Mbak Dewi dan
suaminya yang menyempatkan diri untuk menengok. Hingga hubunganku
dengan keluarga itu menjadi kian akrab.Namun, hubungan sumbangku
dengannya terus berlanjut hingga kini. Bahkan kami pernah nekad
bersetubuh di belakang rumah keluarga itu, karena kami sama-sama
horny sementara di ruang tengah banyak sanak famili dari keluarganya
yang menginap. Entah kapan aku akan menghentikannya, mungkin setelah
gairahnya telah benar-benar padam.
0 komentar:
Posting Komentar