AGEN POKER - Sewaktu
aku masih duduk di SMTP di Kota Kecamatanku, selain bertugas mengurus
kerbau sehari-hari, aku juga seringkali membantu orangtua dalam
menanggulangi keperluan hidup keluarga, seperti bertani, berkebun dan
ikut dagang.
Bertani
dan berkebun sudah menjadi pekerjaan pokok bagi kami sekeluarga,
namun berdagang merupakan pekerjaan tambahan yang aku coba geluti
saat kecilku yakni ikut-ikut sama Om dan sepupuku yang kebetulan
mereka berprofesi selaku pedagang papan.
Singkat
cerita, namaku ‘Anis’ dengan identitas lengkap sudah berkali-kali
termuat di situs cersex.com bermaksud menceritakan pengalaman nyataku
kepada teman-teman penggemar cerita sex, yang telah kualami sewaktu
masih tergolong ABG, karena umurku saat itu antara 12 sampai 15
tahun.
Waktu
itu, aku bersama Om dan sepupuku setiap hari Sabtu Pagi berangkat
menunggangi kuda menuju suatu daerah pegunungan pada salah satu
daerah kecamatan yang bertetangga dengan wilayah kecamatanku. Kami
rata-rata harus menempuh perjalanan sehari penuh baru tiba di daerah
tersebut untuk membeli papan lalu kami jual kembali ke kampungku dan
ke kampung-kampung lain yang membutuhkannya. Karena jarak antara
kampung kami dengan tempat produksi papan itu cukup jauh, maka tidak
heran jika setiap kami berangkat mesti bermalam di daerah tersebut.
Tapi karena sudah menjadi langganan kami sejak lama, maka kami
bersama rombongan cukup akrab dengan para penjual papan, termasuk
keluarganya.
Suatu
hari, tepatnya Minggu pagi, seperti biasanya, kami berangkat ke hutan
lewat beberapa gunung bersama penjual papan guna memilih dan memikul
papan-papan yang hendak kami bawa pulang dan mengumpulkannya di
pinggir jalan yang memudahkan bagi kuda mengangkutnya. Namun,
tiba-tiba aku merasa malas jalan menelusuri bukit dan hutan. Apalagi
di daerah itu hawanya sangat dingin sampai-sampai aku jarang mandi di
daerah itu, karena hampiar seharian penuh terasa dingin. Aku cari
alasan agar aku bisa diizinkan pulang ke rumah.
“Anis,
kenapa kamu berhenti” tanya Omku ketika aku mendadak jongkok sambil
memijit perut.
“Aduh,
sakit sekali Om, aahh, perutku terasa tertusuk jarum,” alasanku
sambil mengurut-urut perutku.
Untung
Om dan sepupuku tidak terlalu memeriksa kondisi perutku, sehingga
mereka tidak terlalu curiga jika sikapku itu hanya alasan semata agar
aku tidak dipaksa memikul papan.
“Kalau
begitu, biar kamu diantar saja sepupumu pulang ke rumah, nanti ia
menyusul.
Lagi
pula khan ada Liah yang menemanimu di rumah,” kata penjual papan
itu dan menyinggung nama anak satu-satunya perempuan yang tinggal
jaga rumah sambil masak.
“Tak
usah diantar pulang, biar aku sendiri ke rumah, khan masih dekat”
kataku menolak diantar karena memang sakit perutku hanya
alasan.
Sesampainya
aku di rumah penjual papan itu, aku langsung ke tempat tidur yang
memang selalu kami tempati tidur bersama rombongan. Setelah Liah
keluar, nampaknya ia sedikit kaget melihatku berbaring dalam keadaan
terbungkus sarung di seluruh tubuhku dari ujung kaki hingga ujung
kepala karena cuacanya masih sangat dingin.
“Kok
tidak ikut ke lokasi ambil papan kak?” tanya Liah padaku penuh
kehati-hatian sambil mendekatiku.
“Ak..
aku sakit peruut dik.. Jadi aku disuruh pulang istirahat” jawabku
dengan suara seperti layaknya orang sakit.
“Sakit
sekali kak, perlu obat..?” tanya Liah seolah
menghawatirkanku.
“Iyah..,
apa ada minyak sumbawanya dik?” jawabku lagi.
“Ada
kak, tapi bagus jika pakai minyak Etin, kebetulan Mamaku jika sakit
perut, ia biasa meminum minyak Etin, lalu menggosokkan sedikit ke
bagian perutnya yang sakit,” kata Liah serius.
Ia
nampak berlari masuk ke kamar orangtuanya yang terletak di bagian
dalam rumah itu. Tak lama kemudian, LiaHPun muncul di samping tempat
tidurku sambil berdiri memegang sebotol minyak Etin dengan segelas
air putih, lalu menjulurkan padaku.
“Ini
Kak minyak Etinnya. Silahkan diminum sedikit, lalu sapukan juga
sebagian ke bagian perutmu yang sakit,” katanya dengan suara
lembut.
“Terima
kasih dik, kamu baik sekali padaku. Untung saja kamu ada di rumah,
jika tidak, tentu aku kesulitan cari obat,” kataku
merayunya.
“Mamamu
kemana dik? Kok tidak kelihatan,” tanyaku pura-pura meskipun sejak
subuh tadi aku lihat Mamanya Liah berangkat ke pasar dengan jalan
kaki bersama tetangganya sambil menjunjung gula merah untuk
dijualnya.
“Ia
ke pasar sejak tadi subuh kak. Maklum pasarnya agak jauh dari sini,
sehingga ia terpaksa cepat-cepat berangkatnya untuk jualan gula
merah”.
Kami
memang sempat terlibat dalam perbincangan setelah aku meminum dan
menggosokkan ke perutku obat yang diberikannya itu. Liah adalah gadis
yang kuyakini masih perawan desa karena jarang bergaul di luar rumah,
bahkan belum pernah kulihat jalan sama lelaki. Tubuhnya agak
langsing, warna kulitnya putih bersih dan mulus karena jarang kena
sinar matahari apalagi cuacanya sangat dingin, sehingga keadaan
gadisnya mungkin tak jauh beda dengan gadis-gadis Bandung yang konon
umumnya cantik-cantik. Liah masih terus berdiri di samping tempat
tidurku itu sambil menjawab seluruh pertanyaan basa basiku. Kadang
kami bertatapan muka sambil melempar senyum. Kami sering saling
memandangi tubuh masing-masing.
Sedikit
demi sedikit jantungku mulai berdebar pertanda ada sesuatu yang
muncul dan tidak biasa terpikir. Entah apa hal seperti itu juga
dialami Liah, tapi aku mulai merasakannya dan memikirkannya. aku diam
sejenak memikirkan alasan apa lagi yang harus kutunjukkan sehingga
jantungku bisa tenang dan tanda tanya hatiku bisa terjawab.
“Aduh..
Aahh.. Iihh.. Kambuh lagi sakit perutku Liah, tolong aku dik..”
sikapku pura-pura kesakitan agar Liah mau menyentuh tubuhku, karena
aku mulai merasakan ada gejolak birahi atau cinta dari lubuk
hatiku.
“Ada
apa kak, apanya yang sakit,” tanya Liah seolah bingung melihatku.
Ia seolah jalan di tempat antara mau maju mendekatiku dengan mau lari
cari bantuan orang lain atau mungkin cari obat yang lain. Entah
apa..
“Toolongngng
Dik Liah.. Bantu aakuu.. Ssaakiit sekalii..” teriakku sedikit
teriak seolah kesakitan.
“Mau
dibantu bagaimana kak? Aku harus berbuat apa kak..?” tanya Liah
kebingungan dan ingin sekali menolongku tapi ia nampaknya ragu juga
menyentuh tubuhku, apalagi memegangi perutku yang sedikit
terbuka.
“Tolong
disapukan ini ke perutku Liah. aku sakit sekali,” jeritku sedikit
tertahan sambil menyerahkan minyak Etin itu ke Liah.
LiaHPun
meraih dengan cepatnya, lalu tanpa pikir dan ragu lagi, ia langsung
menyentuh perutku yang masih terbungkus sarung, sehingga sarungku
jadi basah akibat minyak Etin. Mungkin ia tidak sadar kalau perutku
dilapisi kain sarung atau takut menyentuh langsung karena tidak
biasa. Tangan kananku langsung memegang tangan kanannya lalu tangan
kiriku menyingkap sarungku ke atas hingga ke dadaku.
Terbukalah
sedikit perutku, namun Liah nampak malu memandanginya, tapi aku
menuntun tangannya yang sudah diolesi minyak Etin ke perutku. Terasa
agak gemetar menyentuh kulit perutku, tapi ia tidak menolak
merabanya, malah sedikit mulai bergerak menyapukan tangannya itu.
Liah tetap saja menoleh ke arah lain, tapi lagi-lagi aku minta agar
ia menumpahkan semua minyak Etin itu ke atas perutku. Akhirnya ia
terpaksa melihatnya dan mulai menggosoknya.
Sungguh
hangat, lembut dan nikmat sekali sentuhan telapak tangan Liah di
perutku. Meskipun agak malu-malu, tapi ia tetap menolongku dengan
menggosok-gosok terus perutku, lalu aku berkata pelan sekali.
“Liah,
kamu tidak keberatan khan bila kamu terpaksa menyentuh
kulitku?”
“Ti..
Tidak kak, sebab Kak khan sakit. Lagi pula aku hanya menolong
kak”
“Jadi
kamu tidak jijik dan tidak takut padaku Liah?” tanyaku
singkat
“Kenapa
jijik dan takut kak. Kita khan sudah seperti keluarga. Lagi pula
siapa lagi yang mau menolong Kak kalau bukan saya” jawabnya seolah
lebih berani dan sudah tidak malu serta tidak gemetar lagi.
“Aku
betul-betul beruntung hari ini. aku ditemani oleh seorang gadis
cantik yang setia menolongku di kala sakit.
Mungkin
inilah hikmah dari sakit perutku,” ocehanku merayu Liah yang sedang
memegangi terus perutku walaupun tak ada rasa sakit sedikitpun,
melainkan hanya rasa rindu, nafsu birahi dan kenikmatan semata yang
kurasakan.
“Ih..
Kak Anis.. Gombal ni yeah..” ucapnya sambil memutar sedikit perutku
seolah ia mencubitnya.
“Sudah
berhenti rasa sakitnya kak?” tanya Liah sambil menarik
tangannya
“Masih
sedikit sakit dik.. Jangan dihentikan dulu yach.. Nanti tambah sakit
lagi.
Biar
lama-lama kunikmati sentuhan tanganmu yang lembut ini. Lagi pula khan
Mama dan papamu masih lama pulangnya” kataku sambil meminta agar
Liah tetap menempelkan tangan mulusnya di perutku.
“Yah
deh, jika memang itu maumu. Tapi jangan macam-macam yach?”
katanya
“Ok
deh, aku akan mendengar permintaanmu” jawabku singkat, namun aku
mencoba menempelkan kedua tanganku di atas tangannya yang sedang
mengelus perutku.
LiaHPun
nampaknya ikut menikmati sedikit sentuhanku.
Karena
aku semakin penasaran ingin menyentuh lebih banyak tubuh Liah akibat
mulai terangsang dibuatnya, maka kucoba sedikit memiringkan tubuhku
ke arah Liah yang sedang duduk di tepi tempat tidurku dengan kaki
terjulur ke luar, sehingga penisku yang sejak tadi bergerak-gerak
dari dalam celanaku dan mulai membesar mengacung ke atas sedikit
menyentuh pinggul Liah. LiaHPun nampaknya tidak bergerak, malah
sedikit termenung tunduk. Aku coba lebih rapatkan lagi selangkanganku
ke pinggulnya, tapi ia tetap diam.
Kali
ini aku coba angkat tanganku hingga bertengger di atas kedua paha
Liah yang terbungkus sarung, namun Liah mengangkatnya kebelakang,
sehingga aku hanya bisa merapatkan ke punggungnya. Libidoku terasa
semakin naik dan sulit kukendalikan, maka aku pura-pura lupa atas
janjiku untuk tidak macam-macam. aku lingkarkan tanganku ke
pinggangnya lalu kurangkul erat-erat, sehingga Liah terlihat
menggigit bibirnya sambil menunduk tanpa bersuara. Mungkin ia juga
terangsang dan menikmatinya.
Akhirnya
aku beranikan diri meningkatkan reaksiku dengan meraih tangan kanan
Liah lalu membawanya ke selengkanganku yang masih terbungkus sarung
dan celana. Tangan LiaHPun terasa lemas dan menuruti saja. Tak lama
tangan Liah tergeletak lemas di atas selangkanganku yang berisi
tonjolan keras dan sedikit berdenyut itu, aku lalu menyingkap sedikit
sarungku ke atas dan membawa tangan Liah masuk ke selangkanganku
lewat bagian atas celanaku sehingga tangannya yang hangat bersentuhan
langsung dengan penisku yang keras dan mulai basah ujungnya. Tangan
Liah yang tadinya lemas kini mulai bertenaga juga dan bergerak
menelusuri celah-celah celanaku hingga ia menggenggam penisku. Malah
tanpa kutuntun dan kuajak lagi, tangannya mulai sedikit menggocok
kemaluanku sehingga aku semakin panas dan ingin segera membuka
seluruh penghalangnya.
“Dik
Liah, maaf Dik yach jika terpaksa aku mengabaikan janjiku tadi. aku
sama sekali tidak mampu lagi menahan cinta dan rasa rinduku padamu
sayang. Semoga kamu juga bisa bahagia dan menikmatinya,”
bisikku.
“Terserah
kak, asal kamu mau tanggung jawab nantinya,” katanya
singkat.
Tanpa
kujawab lagi perkataannya itu, aku langsung menurunkan celanaku
hingga terbuka semuanya, lalu kutarik tubuh Liah agar masuk ke arahku
lebih rapat. Iapun nampaknya pasrah tanpa komentar, malah
membaringkan mukanya ke perutku, ke bahuku dan ke wajahku. aku
baringkan ia di atas kasur dengan terlentang, lalu kukecup seluruh
tubuhnya mulai dari dahi, pipi, dagu, leher dan berhenti di mulut
serta bibirnya. Iapun menyambut kecupanku itu dengan sedikit membuka
mulutnya seolah memberi kesempatan padaku untuk memasukkan lidahku ke
dalam rongga mulutnya. Cukup lama aku bermain lidah hingga tanganku
bergerak menelusuri daster yang dikenakan Liah. Tangankupun menemukan
dua benda kenyal, hangat, mungil, agak keras serta mulus yang terasa
ujungnya mengeras.
“Buka
pakaiannya yach sayang..” pintaku berbisik di telinganya.
Namun
Liah tidak bergerak sedikitpun. Tapi aku tetap beranikan diri membuka
sendiri pakainnya dengan mengangkatnya ke atas hingga terbuka lewat
kepalanya. Terlihatlah perutnya yang rata, putuh dan mulus, meski
masih terbungkus bagian bawahnya dengan sarung. Sedang bagian atasnya
sisa selembar kain yang kecil melingkar di dadanya dengan warna putih
sehingga kedua benda yang kupegang tadi belum kelihatan dengan jelas.
Namun itu tak bertahan lama karena aku segera melepaskannya dengan
mudah, lalu aku leluasa menjilatinya, mengisap-isap putingnya dan
meremas-remasnya.
Akibatnya
LiaHPun bergerak-gerak seiring dengan gerakan tangan dan mulutku
secara bergantian. Bahkan kali ini ia tak sadar sehingga mengangkat
pinggulnya yang masih terbungkus sarung dan menyentuh benda yang ada
di selangkanganku yang tak terlapisi kain sedikitpun. Liah
menggelinjang bagaikan cacing ketika aku menyapu perut dan pusarnya
dengan lidah. Kakinya terangkat sehingga dengan sendirinya sarungnya
tersingkap ke atas yang memperlihatkan paha mulusnya.
“Boleh
saya buka sarungnya sayang?” tanyaku berbisik, namun lagi-lagi ia
tak bersuara kecuali sedikit mengangguk.
Akupun
segera menurunkannya dengan ujung kakiku hingga terlepas. Tinggallah
celana colornya yang berwarna hitam. Tapi itupun tak lama, sebab aku
susul dengan jepitan ujung kaki lalu menurunkannya hingga terlepas
semuanya. Kamipun sudah telanjang bulat. Suasana dingin di rumah itu
semakin hilang seiring dengan meningkatnya permainan kami. Keringat
kami mulai bercucuran. Kutingkatkan gerakanku dengan menjilati bagian
bawah pusarnya hingga lidahku menyentuh daging yang terbelah dua
dengan baunya yang khas, warna kulitnya agak putih, tonjolan yang
menancap di antara kedua bibirnya agak kemerahan dan sedikit keras
lagi indah. Kuputar-putar lidahku dan kugocok-gocokkan ke luar masuk
pada benda mungil nan indah itu, sehingga Liah terengah-engah dengan
nafas terputus-putus, bahkan sedikit bergelinjang keenakan.
“Kak,
cepat masukin dong, aku sudah nggak tahan nih.. Aahh.. Uuhh..”
pinta Liah tiba-tiba, sehingga aku semakin mempercepat
permainanku.
Kali
ini kurenggangkan kedua pahanya sehingga terlihat dengan jelas benda
khusus dan sasaran utama bagi setiap laki-laki itu. Namun karena Liah
masih mudah, sehingga wajar jika belum terlihat jelas bulu-bulu yang
tumbuh di atasnya. Tapi aku senang karena terasa lembut, jelas dan
mudah dijamah. aku merasakan ada cairan hangat yang mulai mengalir
dari dalam perutku dan lubang yang sedikit menganga di bawah hidungku
juga nampaknya sudah tidak sabaran menunggu hantaman penisku yang
dari tadi bergerak mencari pasangan dan lawannya. Lubang kemaluan
Liah semakin basah oleh cairan pelicin, sehingga aku segera
mengarahkan ujung penisku menancap ke lubang itu. Cukup lama
berkenalan di luar pintu dari kedua benda asing itu, seolah mereka
bicara dengan mesra.
Tanpa
kusadari dan kusengaja, ujung penisku masuh pelan-pelan akibat
sambutan pantat Liah yang terangkat tinggi-tinggi sehingga sulit aku
hindari pertemuannya. Namun sesampai di leher penisku, terasa agak
sulit masuk seolah ada pelapis yang menghalangi. Kami saling
berusaha, namun tetap sulit. Dalam hati saya mungkin karena baru kali
ini ada benda seperti miliku masuk ke lubang Liah sehingga masih
sempit. Setelah aku berjuang keras, membantu dengan kedua tanganku
membuka kedua bibir lubang Liah, menggerak-gerakkan ke kiri dan ke
kanan yang disambut pula oleh gerakan pinggul Liah yang berputar,
bahkan aku letakkan bantal guling mengganjal pinggul Liah, akhirnya
masuk juga sedikit demi sedikit meskipun nampaknya Liah kesakitan dan
memaksa.
“Auhh..
Aaahh.. Uuuhh.. Mmmhh.. Khh..” suara Liah yang sedikit keras
terdengar ketika penisku masuk senti demi senti hingga amblas ditelan
oleh vagina Liah yang sempit, mulus dan basah itu.
Setelah
amblas, akupun semakin mempercepat gocokannya seiring dengan gerakan
pinggul Liah yang nampaknya tidak mau diam. Suara nafas kami yang
saling memburuh mewarnai kesunyian di ruangan itu. Baru aku mau coba
terapkan posisi yang lain, misalnya tidur telentang dengan Liah
mengangkangiku atau Liah nungging lalu aku menusuk vaginanya dari
belakang atau kami sama-sama duduk dan lain-lainnya, tapi tiba-tiba
sekujur tubuh Liah gemetaran, menarik rambutku, memelukku dengan
keras dan menggigitku sedikit, lalu seolah menjepit kemaluanku dengan
keras sehingga terasa berdenyut-denyut, yang akhirnya Liah lemas
lunglai dan matanya tertutup tanmpa sedikitpun bergerak.
Maka
terpaksa aku urungkan niatku, apalagi hampir bersamaan itu pula aku
didesak oleh cairan hangat dari dalam yang seolah memaksa mau tumpah,
yang akhirnya kuturuti saja tumpah di dalam lubang Liah yang sudah
lemas, sehingga kuyakini tumpahnya hanya di bagian luar saja.
Belum
mataku tertidur setelah menyelesaikan tugas dan merasa terobati oleh
Liah, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di depan rumah. Mak
cepat-cepat kubungkus diriku dengan sarung, lalu kubangunkan Liah
yang baru saja mulai tertidur. Liah pun segera bangkit mengenakan
pakaiannya seperti semula setelah ia melap tubuhnya yang basah dengan
kain sarung yang ada di dekatku. Bersamaan dengan keluarnya Liah dari
ruangan di mana aku tadi diobati, pintu rumaHPun kedengaran terbuka
dan suara maka LiaHPun sangat jelas memanggil Liah untuk membantu
mengangkat barang-barang belanja serta sisa jualannya di pasar. Liah
terdengar berlari dari dalam setelah kedengaran ada air yang
jatuh.
Mungkin
Liah baru saja membersihkan vaginanya atau badannya yang kelepotan
cairan kental. Namun hingga kami kembali ke daerahku bersama
rOmbongan dengan membawa papan dagangan kami, tidak seorangpun yang
pernah curiga atas apa yang telah kami peraktekkan bersama Liah
sewaktu aku sedang sakit pura-pura.
Saat
itulah awal dari perjalanan sexku bersama manusia. Hari-hari
berikutnya, kami masih beberapa kali melakukannya dengan suka sama
suka baik ketika kami berdua di rumahnya maupun ketika kami
jalan-jalan ke gunung dan hutan. Tapi sayangnya, sejak aku
melanjutkan pendidikan ke kota Kabupaten, aku belum pernah ketemu
lagi, bahkan hingga saat aku memiliki 2 orang anak saat ini,
kabarnyapun tak pernah terdengar.
0 komentar:
Posting Komentar