Pesta ulang
tahun istri boss telah usai. Para undangan sebagian menuju mobil mereka untuk
pulang, sebagian lain lagi menunggu supir masing-masing berdiri di kanopi rumah
boss. Dengan ditemani istri boss aku menunggu suamiku yang saat ini masih
terlihat bicara serius dengan boss serta staff direksi yang lain. Beberapa saat
kemudian kulihat suamiku bersama boss mendekat ke aku. Boss yang bicara padaku,
“Maaf Bu Dibyo, Pak Dibyo saya tahan karena ada yang perlu dibicarakan untuk pertemuan dengan pengusaha Jerman besok. Ibu biar diantar Tarjo supir saya pulang lebih dahulu. Nggak apa-apa ya Bu, maaf nih”, demikian permintaan maaf boss Mas Dibyo yang nggak mungkin aku sanggah lagi sebagaimana kebiasaan di lingkungan kantor kami.
Ada kebanggaan bahwa suamiku, Mas Dibyo, merupakan staff inti yang selalu dibutuhkan pada saat-saat kritis seperti ini, tetapi aku sudah terlampau banyak dikorbankan untuk hal-hal seperti ini.
“Maaf Bu Dibyo, Pak Dibyo saya tahan karena ada yang perlu dibicarakan untuk pertemuan dengan pengusaha Jerman besok. Ibu biar diantar Tarjo supir saya pulang lebih dahulu. Nggak apa-apa ya Bu, maaf nih”, demikian permintaan maaf boss Mas Dibyo yang nggak mungkin aku sanggah lagi sebagaimana kebiasaan di lingkungan kantor kami.
Ada kebanggaan bahwa suamiku, Mas Dibyo, merupakan staff inti yang selalu dibutuhkan pada saat-saat kritis seperti ini, tetapi aku sudah terlampau banyak dikorbankan untuk hal-hal seperti ini.
Kebetulan
aku meraih “door prize” saat istri boss mengundi nomer urut tamu malam ini.
Lumayan aku dapat flat TV 21 inchi yang bisa aku pasang di kamar tidurku nanti.
Mobil BMW 650i yang super mewah berhenti di latar kanopi begitu boss usai
bicara padaku. Tarjo sang supir bergegas mengambil dooz besar TV-ku dan
membukakan pintu kursi belakang untukku.
“Selamat
malam, Bu. Wah rupanya Pak Dibyo bisa sampai malam hari ini, Bu. Soalnya saya
dengar rombongan pengusaha Jerman itu minta bapak untuk membuat draft LOI
(maksudnya, Letter of Intent) untuk besok pagi”. Begitu Tarjo memberikan
selamat malam padaku dan menyampaikan informasi mengenai tugas Mas Dibyo hasil
dari nguping pembicaraan bossnya.
Sampai di
rumah aku turun lebih dahulu untuk membuka pintu dan menyalakan lampu ruang
depan. Tarjo mengangkat dooz TV ke dalam rumah. Saat itu terpikir alangkah baiknya
kalau Tarjo bisa sekalian membantu membongkar TV-nya dan menaruh di kamar
tidurku. Dengan senang hati dia melakukan permintaanku. Boss sudah nggak nunggu
saya lagi kok Bu, jadi saya bisa bantu ibu sebentar, begitu jawabnya. Saat itu
kuperhatikan matanya begitu berbinar setiap aku ngajak omong. Dia tidak hanya
memperhatikan bibirku yang bicara tetapi juga gaun malamku yang menampakkan
bahuku yang terbuka, belahan buah dadaku, pinggulku. Aku sudah terbiasa
menghadapi pandangan mata lelaki macam itu, tetapi mestinya bukan kelasnya
Tarjo. Aku merasakan bahwa sebagai lelaki Tarjo pasti juga tergerak birahinya
melihat perempuan seperti aku, itu jelas dari cara matanya memandangku. Aku
mafhum.
Tarjo dengan
cepat dan cekatan melaksanakan permintaanku. Nampaknya dia ingin benar-benar
membuat aku senang. Dan sebagai terima kasihku kubuatkan minuman saat selesai
memasang TV di kamar tidurku. Sementara dia minum aku masuk kamar untuk ganti
baju.
Aku sedang
membuka blus setengah dadaku yang tanpa kancing melalui kepalaku ketika
tiba-tiba aku mendengar langkah kaki Tarjo memasuki kamarku dan sama sekali tak
kuduga ketika dia memelukku dengan kuat dan langsung menciumi ketiakku. Aku
berteriak tertahan karena malu kalau sampai kedengaran tetangga, sementara
mukaku masih tertutup oleh blusku sehingga aku tidak melihat apa-apa di
sekelilingku. Dengan sigap tangan kuat Tarjo membekap mulutku dari balik
blusku,
“Jangan teriak, Bu. Malu khan kalau kedengaran tetangga. Saya nggak tahan nih Bu. Kepingin ngentot ibu sejak berangkat dari rumah boss tadi. Sebentar saja, Bu”. Gaya bicara Tarjo yang demikian tenang sangat membuatku jengkel dan marah. Sepertinya dia biasa melakukan hal begini kepada orang lain. Dasar begundal gila kamu, Jo.
“Jangan teriak, Bu. Malu khan kalau kedengaran tetangga. Saya nggak tahan nih Bu. Kepingin ngentot ibu sejak berangkat dari rumah boss tadi. Sebentar saja, Bu”. Gaya bicara Tarjo yang demikian tenang sangat membuatku jengkel dan marah. Sepertinya dia biasa melakukan hal begini kepada orang lain. Dasar begundal gila kamu, Jo.
Aku berontak
dan jatuh ke ranjang tertindih tubuh Tarjo yang terus merangsek ketiak dan
bagian tubuhku yang lain. Aku mulai ketakutan Tarjo akan memperkosa aku. Nggak
mungkin dia berbuat begitu padaku yang istri atasan dia juga. Tetapi teriakkan
dan berontakku rasanya sia-sia. Dia terlampau kuat buat aku. Dengan mudah Tarjo
meringkus aku. Mulutku disumpal dengan sapu tanganku yang dia raih dari meja
toiletku. Tanganku dia ikat kuat-kuat pakai tali rafiah bekas pengikat TV ke
kisi-kisi ranjangku. Sementara kakiku ditahan dengan tubuhnya dengan kuat.
Aku terus
berusaha berontak dengan tubuhku yang masih bebas untuk menggeliat menolak muka
Tarjo yang nyungsep ke dadaku yang hanya tinggal memakai BH. Kakiku juga masih
berusaha melawan kendati tubuhnya sangat kuat menindihku. Aku mulai berpikir
kalau aku bisa menendang selangkangannya pasti Tarjo akan kesakitan. Tetapi aku
nggak mampu. Bahkan tangan kanan Tarjo yang telah menyingkap gaun malamku mulai
menarik-narik celana dalamku. Aku mulai menangis putus asa. Bagaimanapun nafsu
jahat Tarjo akan kesampaian juga.
Dengan
menangis ini Tarjo jadi tahu bahwa perlawananku tinggal separoh, selebihnya
tinggal keputus asa-an dan penyerahan tubuhku yang siap untuk melampiaskan
nafsu binatangnya. Hal ini membuat Tarjo menjadi lebih gila dan mulai melepasi
ikat pinggang kemudian memerosotkan celana panjangnya hingga ke pahanya. Aku
memang semakin putus asa saat kurasakan Tarjo berhasil menarik melepasi celana
dalamku kemudian menguakkan selangkanganku dan menenggelamkan wajahnya ke
kemaluanku. Dia merangsek menciumi dan menyedoti nonokku. Aku tak bisa
membayangkan lagi bagaimana perasaanku waktu itu. Kemaluanku yang berbulu tipis
dengan bibir vaginanya yang sangat ranum dilumat-lumatnya yang terkadang sambil
melepaskan gigitan-gigitan kecilnya.
Cukup puas
menggarap kemaluanku kini wajah Tardjo merangkaki perutku. Dengan bibirnya yang
terus menjilati dan menyedoti tangan-tangannya melepasi BH-ku dan membetot
keluar payudaraku yang memang sangat menggunung dan pasti menimbulkan nafsu
birahi Tardjo yang makin kesetanan ini. Kemudian dari jilatan dan sedotan di
perutku bibirnya bergerak cepat beralih mengenyoti dengan sangat ganas buah
dadaku yang sudah keluar dari BH yang sudah berantakkan ikatannya.
Dan di bawah
sana kurasakan benda keras yang aku pastikan adalah kontolnya mulai
didorong-dorongkannya ke lubang vaginaku. Aku semakin benar-benar tidak melihat
jalan keluar lagi. Aku dilanda kecemasan dan ketakutan yang amat sangat. Aku
menjadi lumpuh dengan penuh sakit di hatiku. Aku terus menangis. Sopir gila ini
benar-benar akan memperkosa aku. Edan. Gila. Benar-benar anjing kamu, Tarjo.
Tetapi
Tardjo ternyata sangat professional untuk merubah penolakanku menjadi
penantianku. Dengan bertumpu pada lumatan, isepan dan gigitan pada payudara dan
pentil-pentilku yang sangat intens, Tardjo mengembangkan variasi remasan dan
rabaan pada bagian-bagian tubuhku yang paling sensitive. Terkadang jarinya
seakan mencakar kasar untuk kemudian berubah mengelus lembut. Aku dipermainkan
oleh gelombang sentuhan erotisnya. Aku tergiring untuk memasuki wilayah peka
birahi yang demikian dahsyat. Aku nggak habis pikir, terkadang aku dibuatnya
menunggu, apa lagi dan yang mana yang akan dirambah rabaannya. Dan itu
merupakan siksaan yang paling aku benci. Menunggu Tardjo, menunggu rabaannya,
sementara lidah dan bibirnya terus menggelitik payudara dan pentilku dengan
disertai dengusan serta lenguhan nikmat yang sangat merangsang iba birahi
siapapun yang mendengarnya. Rasanya dalam waktu yang singkat kini beralih aku
yang terlanda kehausan. Birahiku seakan tercambuk untuk mendera nafsu libidoku.
Ayoo, Tardjoo, cepatt.. yang mana lagi.., ayoo, kurang ajar benar sih, kamu..
Aku
ngap-ngapan mengejar nafasku karena perbuatan Tardjo ini. Kini situasinya jadi
berbalik. Kini aku yang justru menginginkan Tardjo dalam arti sesungguhnya
untuk memperkosa aku habis-habisan. Kini aku berubah menjadi hewan betina yang
menunggu dilahap rakus jantannya.
Dan ketika
akhirnya kurasakan ujung kontol Tarjo mendesaki gerbang vaginaku. Bibir
vaginaku kurasakan menebal dan menjadi sangat peka terhadap sentuhan. Aku
sangat berharap kontol Tardjo cepat menembusi nonokku. Aku goyangkan pantatku
naik turun dan berputar cobek untuk menjemput dan menangkap batangan kontol
Tardjo. Aku sudah demikian kegilaan menunggunya. Oohh.., Mas Dibyoo, maafkan
aku, ini bukan salahku, mass.. Kenapa kamu nggak pulang mengantar aku dulu
kemudian kembali dengan urusan pekerjaanmu, demikian aku menangisi nasibku. Dan
Tarjo mulai dan terus mengocok-ocokkan kontolnya secara intensif ke liang
kemaluanku.
Dan saat akhirnya
vaginaku menelan seluruh batangan kontol itu, wwuuhh.. Aku dilanda gelinjang
nikmat yang sangat dahsyat. Kini aku mendesah dengan hebatnya. Dan lebih konyol
lagi, kegatalan pada nonokku terus memaksa pantatku bergoyang naik turun untuk
menjemput kontol Tarjo agar menembusi lebih dalam lagi, dan bergoyang seperti
“ngebor”, memutar pantat ke kanan dan ke kiri agar memekku bisa melumat batang
kontol untuk menggaruk dinding vaginaku yang nggak mampu aku tahan lagi rasa
gatalnya. Dan inilah yang diharapkan Tarjo sebagai tanda telah mampu
menundukkan aku. Oocchh, ampuni aku Mas Dibyoo..
Kini Tarjo
merasa tidak perlu terlampau ketat menahan meringkus aku. Bahkan dengan penuh
keyakinan sumpal di mulutku dilepasnya. Tarjo tahu aku telah berada di wilayah
kenikmatan birahiku dan tak akan mungkin berteriak-teriak yang membuat
kehilangan kenikmatan itu. Kontolnya mulai dipompakan secara teratur dan cepat
menembusi nonokku. Dan cairan birahiku tak lagi bisa menyembunyikan hadirnya
nafsu birahiku itu.
“Bu, enhak
sekali ya, Bu .., Bu enhaakk, yaa..”, racau Tardjo sambil menahan birahinya
yang sudah demikian tak terkendali. Tetapi ucapan Tarjo itu sama sekali tidak
salah. Aku memang merasakan enak dan nikmatnya pemerkosaan ini. Bahkan kini aku
benar-benar menggoyang-goyangkan pantatku karena kenikmatan yang menimpa
diriku. Dan racauan mulutku mengalir menyahuti menyemangati racauan Tarjo,
“Teruzzss Mas Tarjo.., terusszz.., enhhaakk.., terusszzhh..”.
“Teruzzss Mas Tarjo.., terusszz.., enhhaakk.., terusszzhh..”.
Semua
menjadi serba cepat. Genjotan kontol Tarjo yang semakin kuat ngentot kemaluanku
membuat susu-susuku tergoncang-goncang seperti terlanda gempa bumi. Aku merasa
kehausan yang amat sangat. Aku minta Tarjo menciumi bibirku. Kami saling
melumat dengan ganas yang disebabkan gelombang dahsyat yang menerpa birahi
kami. Dan kini aku merasa seluruh urat dan otot-otot tubuhku meregang. Aku
merasa ada desakkan kuat yang harus meledak keluar dari dalam tubuhku. Dan
kemudian aku merasakan aliran stroom jutaan watt hadir mengawali muncratnya
cairan birahiku dari dalam kemaluanku. Aku merasakan kenikmatan yang dahsyat
saat orgasmeku datang. Mataku membeliak-beliak menahan dera nikmat. Aku gigit
pundak Tarjo hingga terluka.
Aku belum
pernah mendapatkan pengalaman nikmat macam ini selama perkawinanku dengan Mas
Dibyo. Aku menjadi buas dan kehilangan perasaan malu. Aku meracau dan
mengeluarkan ucapan-ucapan yang sangat seronok dan kotor yang seharusnya tidak
keluar dari mulutku. Aku terdorong oleh nafsu birahiku yang menggelegak hebat
mengucapkan nikmat luar biasa sambil merintih. Dan berbareng dengan itu, Tarjo
yang seperti orang gila semakin keras dan cepatnya memompa nonokku hingga
kudengar suara bijih pelirnya yang memukul-mukul bawah nonokku. Tarjo menyusul
menyemprotkan air maninya yang sangat panas ke dalam memekku. Aku tak bisa bayangkan
lagi betapa kuyupnya lubang kemaluanku. Air mani dan cairan birahiku membusa
meleleh keluar menyertai keluar masuknya pompaan kontol Tarjo. Dan akhirnya
semua berhenti.
Sepertinya
Tarjo lunglai menindih tubuhku dengan keringatnya yang mengalir deras dari
tubuhnya, tetapi wajahnya yang juga basah yang nyungsep di belahan dadaku
bibirnya masih pelan mengenyoti payudaraku dan kontolnya yang terendam basah
masih kurasakan tegang kaku dalam rongga kemaluanku. Walaupun terus terang aku
mendapatkan kenikmatan seksual yang hebat dari paksaan Tardjo tapi demi
gengsiku kutolak tubuh Tardjo dari tubuhku, aku ingin dia cepat menyingkir dari
aku. Tetapi apa kata dia,
“Bu Dibyo, kemaluan ibu seperti kemaluan perawan, sangat sempit dan sangat nikmat. Kontolku belum puas, Bu. Aku mau lagi. Aku mau ibu melayani aku lebih baik lagi. Aku pengin ngentot ibu lagi. Aku mau ibu menjilati kontolku sebelum kumasukkan ke nonok ibu lagi”.
Edan kau Tardjoo.. Omonganmu sama sekali menghinaku. Kamu anggap apa aku ini? Memangnya aku tempat pelampiasan nafsu binatangmu? Memangnya aku budakmu? Pergi kau Tardjoo.. Pergi..!!, demikian aku berteriak padanya.
“Bu Dibyo, kemaluan ibu seperti kemaluan perawan, sangat sempit dan sangat nikmat. Kontolku belum puas, Bu. Aku mau lagi. Aku mau ibu melayani aku lebih baik lagi. Aku pengin ngentot ibu lagi. Aku mau ibu menjilati kontolku sebelum kumasukkan ke nonok ibu lagi”.
Edan kau Tardjoo.. Omonganmu sama sekali menghinaku. Kamu anggap apa aku ini? Memangnya aku tempat pelampiasan nafsu binatangmu? Memangnya aku budakmu? Pergi kau Tardjoo.. Pergi..!!, demikian aku berteriak padanya.
Terus terang
aku berteriak bukan benar-benar menyuarakan hatiku. Aku hanya berteriak demi
gengsiku. Aku akan menangis penuh penyesalan seandainya Tardjo lantas dengan
kecut meninggalkan aku. Terus terang kata-kata jorok brutal Tardjo tadi
tiba-tiba menjadi sensasi birahi yang menggelegak menghantam sanubari libidoku.
Aku merasakan birahi nikmat mendengar kata kontol belum puas, ngentot nonokku,
menjilati kontolnya, ah, merinding dan bergetar merasakan betapa kata-kata itu
menjadi demikian merangsang nafsu birahiku. Aku ingin mendengarnya lagi, aku
ingin Tardjo mengucapkannya lagi untukku. Aku ingin ada kata-kata yang lebih
kotor lagi. Aku ingin Tardjo mengucapkan keinginan kotornya padaku lagi.
Tetapi
ternyata dia tidak bicara lagi. Dia bertindak. Dia mencabut dari memekku
kontolnya yang masih kuyup oleh lendir spermanya yang tercampur dengan cairan
birahiku. Dia merangkaki tubuhku. Dia melangkahi payudaraku untuk mendekatkan
kontolnya ke wajahku. Untuk menjejalkan ke mulutku. Sungguh mati aku sangat
jijik menghadapi ini. Mulutku belum pernah mencium apalagi mengulum kontol. Aku
sangat jijik karena memang belum pernah aku melakukannya walaupun suamiku
sering minta agar aku melakukannya. Walaupun kedua tanganku masih tetap
terikat, aku mati-matian menggeliat-geliat untuk berusaha menolaknya. Aku
pandang hanya binatang saja yang melakukan cara macam ini. Tetapi Tardjo yang
menjadi demikian terbakar nafsunya melihat geliatan tubuhku tidak memintaku.
Dia memaksa aku. Dia telah berhasil memperkosa kemaluanku, dan kini dia akan
memaksa mulutku untuk menerima kontolnya.
Dan Tardjo
memiliki banyak cara. Dia memencet hidungku hingga aku kesulitan mengambil
nafas sampai mulutku terpaksa terbuka untuk bernafas. Pada saat itu kontolnya
langsung disodokkan dan dijejalkan ke mulutku. Reaksi pertamaku adalah
gelagapan dan rasa muak yang tak terhingga. Aku mau muntah. Tetapi keinginan
itu seketika lenyap ketika Tardjo dengan tiba-tiba dan sangat kurang ajar
meraih kepalaku, menjambak rambutku dan kemudian berkali-kali menampari pipiku.
Kali ini aku sungguh-sunguh merasa direndahkan harga diriku. Seorang sopir
macam Tardjo beraninya menampar istri bossnya.
Tetapi
Tardjo sudah kerasukan setan. Dan yang hadir pada diriku kini bukan lagi gengsi
tetapi ketakutan yang amat sangat pada orang yang kerasukan setan. Aku jadi
terpaksa membiarkan kontolnya yang disodok-sodokkan ke mulutku. Aku pasif,
tidak menggerakkan mulutku sama sekali, tetapi Tardjo kembali menamparku,
“Ayo, Bu, isep-isep kontol enak, Bu, kulum, ayo, enak ini bu..”, antara ketakutan dan merinding birahi yang sangat, aku diserang gemetar hebat. Dan diluar kesadaranku akhirnya aku mengulum kontolnya. Aku menggerakkan bibirku. Aku menjilatinya. Rasa asin yang menyergap lidahku membuat aku terkaget. Tetapi Tardjo sama sekali tak memberikan aku ruang untuk menolak. Kontolnya sedikit demi sedikt dijebloskan ke mulutku hingga menyentuh tenggorokanku. Kemudian ditariknya sedikit untuk kembali dijebloskannya lagi, demikian di ulang-ulanginya hingga aku jadi ber-adaptasi. Aroma sekitar selangkangannya yang semula sangat membuat aku mual kini tak terasa lagi. Rasa jijikku menyurut.
“Ayo, Bu, isep-isep kontol enak, Bu, kulum, ayo, enak ini bu..”, antara ketakutan dan merinding birahi yang sangat, aku diserang gemetar hebat. Dan diluar kesadaranku akhirnya aku mengulum kontolnya. Aku menggerakkan bibirku. Aku menjilatinya. Rasa asin yang menyergap lidahku membuat aku terkaget. Tetapi Tardjo sama sekali tak memberikan aku ruang untuk menolak. Kontolnya sedikit demi sedikt dijebloskan ke mulutku hingga menyentuh tenggorokanku. Kemudian ditariknya sedikit untuk kembali dijebloskannya lagi, demikian di ulang-ulanginya hingga aku jadi ber-adaptasi. Aroma sekitar selangkangannya yang semula sangat membuat aku mual kini tak terasa lagi. Rasa jijikku menyurut.
Paksaan yang
tak bisa kutolak menggiring aku untuk kompromi. Aku menerima dengan setengah
perasaanku, sementara aku mencoba meraba dimana kenikmatannya. Sampai-sampai
orang-orang suka membicarakan hal macam begini, bagaimana rasa nikmat melakukan
oral seksual dengan mengkulum dan mejilati kontol lelakinya. Dan saat tangan
Tardjo juga meremasi buah dadaku dan memainkan pentilku aku tak bisa mengelak,
nikmat birahi melumati kontol lelaki segera merambati aku pelan, pelan, pelan
dan kemudian menerkam diriku dengan hebatnya. Situasi serasa berbalik 180
derajat, akulah kini yang mengerang dan mendesah sambil dengan penuh
penghayatan dan nafsu birahi aku memperdalam dan memompa kontolnya dengan
seluruh haribaan mulutku. Tardjo tahu aku sudah bisa dia taklukkan. Dan aku
merasakan gelinjang nikmat bagaimana sebagai perempuan terhormat ditaklukkan
oleh kontol supirnya.
Aku
merasakan sensasi seksual sebagai budak nafsu supir boss suamiku. Kini aku
menjadi pihak yang banyak menuntut. Aku ingin Tardjo menumpahkan seluruh
nafsunya ke tubuhku. Setiap tindakan kasarnya menambah nikmat birahiku.
Keinginan untuk menyerah sebagai budak taklukannya merupakan ungkapan yang
sangat sensasional untuk nafsu birahiku. Aku ingin direndahkan. Aku ingin
dihina. Aku ingin dijajah oleh Tardjo. Aku bahkan ingin disakitinya. Untuk itu
aku berontak habis-habisan hingga kontolnya lepas dari mulutku. Aku tendang
sebisaku apa yang aku bisa tendang. Aku cakari tubuhnya. Aku maki dia dengan
kasar,
“Anjing kamu Tardjo, babi, setan!”, dan rupanya perlawananku langsung memancing kemarahannya. Aku ditamparinya hingga bibirku pecah dan berdarah. Dia memaki aku,
“Dasar pelacur kamu, cabo murahan, pemakan tai!”, katanya dengan kasar sambil meraih mukaku dengan kedua tangannya.
“Anjing kamu Tardjo, babi, setan!”, dan rupanya perlawananku langsung memancing kemarahannya. Aku ditamparinya hingga bibirku pecah dan berdarah. Dia memaki aku,
“Dasar pelacur kamu, cabo murahan, pemakan tai!”, katanya dengan kasar sambil meraih mukaku dengan kedua tangannya.
Dipegangnya
mulutku pada rahang bawah dan atasnya. Dipaksakannya aku membuka mulutnya.
Kemudian di ludahi mulutku. Dia ludahi lagi. Dia ludahi terus mulutku. Dia
gumpalkan air liurnya ke bibirnya kemudian diludahkannya kemulutku. Dan setiap
kali dia membuang ludahnya ke mulutku, setiap kali pula dia pencet hidungku
hingga aku gelagapan dan terpaksa aku menelan ludahnya. Tiba-tiba merinding
dingin dan gemetar seluruh tubuhku, seakan badai kutub utara menyergap aku.
Seluruh saraf-saraf dan ototku mengejang. Aku merasa kegatalan birahi yang
sangat pada kemaluanku dan membuat rasa ingin kencingku meledak-ledak. Aku tahu
perlakuan kasar Tardjo telah memancing nafsu birahiku dengan dahsyat. Dan kini
aku akan kedatangan nikmat orgasme yang tak kuduga-duga akan secepat ini
sebelumnya.
Aku sudah
tenggelam dalam badai birahi yang tak lagi terkendali. Ludah Tardjo telah
mendongkrak libidoku dan mendorongku untuk kembali mencengkeram dan
memepet-pepetkan selangkanganku ke tubuh Tardjo sebagai ungkapan kegatalan
nonokku sambil aku merintih dengan histeris dan setengah teriak,
“Tardjo, masukin kontolmu, Djo, entot aku lagi, Djo, tolong, entot aku lagi”, tentu saja dia heran akan sikapku yang berbalik 180 derajat.
Dan langsung Tardjo menyambut gembira histerisku itu. Tetapi dia tidak langsung menjawab permintaanku. Dia melepaskan terlebih dahulu tanganku dari ikatannya. Dia nampak begitu yakin bahwa aku telah benar-benar dia kalahkan. Dia ingin merasakan bagaimana aku akan sepenuhnya mengekspresikan kenikmatan yang dia berikan. Dia ingin aku menggunakan tangan-tanganku untuk memelukinya dikarenakan birahi yang membakar diriku.
“Tardjo, masukin kontolmu, Djo, entot aku lagi, Djo, tolong, entot aku lagi”, tentu saja dia heran akan sikapku yang berbalik 180 derajat.
Dan langsung Tardjo menyambut gembira histerisku itu. Tetapi dia tidak langsung menjawab permintaanku. Dia melepaskan terlebih dahulu tanganku dari ikatannya. Dia nampak begitu yakin bahwa aku telah benar-benar dia kalahkan. Dia ingin merasakan bagaimana aku akan sepenuhnya mengekspresikan kenikmatan yang dia berikan. Dia ingin aku menggunakan tangan-tanganku untuk memelukinya dikarenakan birahi yang membakar diriku.
Dengan penuh
keyakinan dia kangkangkan selangkanganku. Dia arahkan kontolnya ke nonokku yang
dengan serta-merta pantatku naik tinggi-tinggi menjemputnya. Kontol itu
langsung.. bleezzhh.. menghunjam dan ditelan memekku bulat-bulat. Dengan
tanganku yang terbabas aku memeluki tubuh keringat Tardjo dengan sepenuh puas
hatiku. Dengan cepat pantatku goyang memutar dan memompa naik turun.
Saat
orgasmeku benar-benar berada di depan gerbang puncak nikmat, aku berbalik
dengan cepat ganti menindih tubuh Tardjo. Doronganku adalah menghunjamkan
kontolnya untuk lebih dalam meruyak menusukki nonokku. Dan saat itulah,
cakar-cakarku melukai bahu Tardjo dengan disertai teriakkan seperti anjing
betina yang melonglong keenakkan dientot jantannya, orgasmeku akhirnya muncrat,
tumpah ruah membuat nonokku menjadi banjir dan kuyup. Dengan cepat kuterkam
mulutnya dengan mulutku, kuhisap-isap lidah dan ludahnya untuk menghapus dahaga
birahiku dan menuntaskan puncratan cairan birahiku. Kuhisap terus, kuhisap
terus, kuhisap terus hingga akhirnya aku tergeletak lemas ke kasur pengantinku.
Sepintas aku lihat Tarjo bangkit dan meloco kontolnya. Dia mengeluarkan
spermanya beberapa saat kemudian disertai dengan teriakkan lepas birahinya
dengan sekeras-kerasnya. Dia puncratkan sperma hangatnya ke tubuhku, ke dadaku,
ke mukaku, ke rambutku. Sesudah ber-galon-galon spermanya tersedot keluar,
Tardjo jatuh lemas ke kasur di sebelahku. Aku terlena.
Entah berapa
lama aku tertidur kecapaian hingga terbangun saat kulihat Tardjo bergerak
bangun. Mataku yang kini selalu terpaku pada kontolnya melihat betapa kontol
gede itu belum nampak surut juga dari tegang kakunya. Kontol itu masih nampak
ber-ayun-ayun setiap kali pemiliknya bergerak ke-sana-kesini. Kulihat dia
bergerak turun.
Dia balikkan
tubuhku kemudian dia tarik kakiku hingga tungkai kakiku terjuntai ke lantai.
Dia rabai lubang pantatku. Kemudian aku rasakan dia membenamkan wajahnya di
sana untuk menciumi dan menjilati lubang analku. Rasa gatal yang sangat dengan
cepat kembali menggelitik nafsu birahiku. Suamiku tak pernah menjilati
pantatku, apalagi lubangnya sebagaimana yang dilakukan Tardjo kini. Aku tidak
berfikir lagi untuk menolaknya, rasanya Tardjo sudah menaklukkan aku secara
total, aku pasrah apa maunya saja. Saat dia menjilati dan menusukkan lidahnya
ke lubang anusku aku langsung menggelinjang. Tanganku bergerak kebelakang
meraih kepalanya, aku ingin Tardjo lebih tenggelam lagi menjilat pantatku.
Tetapi Tardjo bergerak bangkit sambil beberapa kali meludahi lubang anusku. Dia
tusukkan jar-jarinya ke lubang itu. Aku kesakitan dan mengaduh. Dia tidak ambil
pusing.
Dan ketika
kontolnya dia asongkan ke analku, aku baru tahu, rupanya Tardjo ingin melakukan
sodomi padaku. Aku rasanya tak mampu berkutik. Aku menjadi tawanan yang sudah
lunglai kehabisan tenaga untuk melawan musuhku. Dan saat rasa sakit yang
langsung menerpa pantaku karena kontol Tardjo memaksakan untuk menembusinya,
aku tak menahan diri lagi untuk berteriak sekeras-kerasnya. Aku benar-benar tak
tahan menerima tusukkan kontolnya di pantatku. Aku belum pernah merasakan
sodomi, bahkan berpikir saja tak pernah.
Rasa panas
dan pedih pada bibir dan dinding anusku tak tertahankan lagi. Aku berusaha
berontak menghindar, tetapi justru membuat aku semakin terkunci oleh jepitan
tubuhnya yang sambil terus menggerakkan pantatnya merangsek dan mendorong serta
menarik kontolnya memompa anusku. Kini aku benar-benar diperlakukan seperti
anjing betina, Dengan setengah tengkurap di tepian ranjang dan kaki terjuntai
ke tanah, aku dipaksa menerima peralakuan sodomi pada pantatku. Aku
terguncang-guncang oleh sodokkan ritmisnya. Anusku terasa sangat panas seperti
kecabean dan pedihnya luar biasa. Kembali aku menangis. Aku melolong karena rasa
sakit yang amat sangat.
Tardjo
menikmati banget apa yang dia bisa raih dari tubuhku. Dengan terus menyodomi
analku dia memelukku dari belakang, menciumi kudukku habis-habisan sambil
tangannya merangkul tubuhku dan meremasi payudaraku. Kudengar nafasnya yang
mengendus dengan buas menyertai nafsu birahinya yang benar-benar telah menjadi
binatang liar yang tak terkendali lagi.
Saat
akhirnya kontol itu terus mempercepat pompaannya, aku tahu bahwa Tradjo telah
mendekati puncak birahinya. Untuk yang kesekian kali dia akan menyemprotkan air
maninya ke dalam tubuhku. Di antara panas dan pedih yang merobek-robek lubang
pantatku aku terguncang-guncang di atas ranjang pengantinku sambil meraung
kesakitan. Aku merasakan betapa sodomi ini begitu menyiksaku. Kepalaku langsung
pening, mataku terasa menggelap ber-kunang-kunang. Kuremasi pinggiran kasurku
dalam upaya menahan kepedihan itu. Yang aku pikirkan hanyalah kapan siksaan ini
berhenti dan selesai. Aku nyaris kehilangan kesadaranku saat Tardjo kembali
menyemprotkan lahar panasnya di lubang analku. Lendirnya melicinkan bibir dan
dindingnya hingga rasa sakit ini sedikit berkurang. Tardjo kembali berteriak
histeris, melolong bak anjing jantan yang telah memuasi betinanya. Kemudian
kembali dia lemas dan rebah penuh keringat menindihi punggungku. Aku lemas
sekali. Aku berharap Tardjo sudah lemas dan puas pula hingga tidak lagi memaksa
aku untuk menampung kebrutalannya lagi. Aku harap selekasnya Tardjo
meninggalkan aku. Aku sudah tak mampu lagi melayaninya. Percuma. Aku nggak akan
mampu lagi menikmatinya. Dan harapanku benar terpenuhi.
Tetapi
caranya sungguh menunjukkan kekurang-ajarannya. Tanpa memperhatikan keadaanku,
tanpa ada omongan “ba bi Bu” enak saja Tarjo turun dari ranjangku. Dengan tanpa
mencuci apa-apa pada tubuhnya, ditariknya kembali celana panjangnya yang tetap
nyangkut di pahanya dan menutup resluitingnya serta mengikat kembali ikat
pinggangnya. Dan kemudian dengan se-enaknya dia ngeloyor pergi,
“Terima kasih, Bu. Maafin saya, ya, Bu”, demikian kering kata-katanya, seolah apa yang telah terjadi bukan hal yang luar biasa. Kemudian dengan sama sekali tidak menunggu reaksiku dengan cepat dia meninggalkan aku yang masih tergolek telanjang di tempat tidurku.
“Terima kasih, Bu. Maafin saya, ya, Bu”, demikian kering kata-katanya, seolah apa yang telah terjadi bukan hal yang luar biasa. Kemudian dengan sama sekali tidak menunggu reaksiku dengan cepat dia meninggalkan aku yang masih tergolek telanjang di tempat tidurku.
Sesudah
lebih dari 1 jam dia melampiaskan nafsu hewaniahnya untuk mendapatkan kepuasan
birahinya dengan cara memaksa menggauli aku, dengan menembusi nonokku, mulutku
dan yang terakhir lubang duburku tanpa khawatir akan suamiku yang bisa kapan
saja muncul pulang tiba-tiba, kini sepertinya pahlawan yang meninggalkan
musuhnya yang sedang sekarat dia pergi begitu saja tanpa tanda-tanda dan jejak
yang bisa dijadikan alibi kecuali hatiku yang terluka dan bimbang.
Aku bimbang,
benarkah Tardjo telah memperkosa aku? Dengan kenikmatan yang begitu luar biasa
yang kudapatkan dari pemerkosaku aku menerima perbuatan Tardjo sebagai sesuatu
yang tak akan pernah kusesali seumur hidupku. Masih pantaskah aku disebut istri
yang setia bagi Mas Dibyo? Ah, lelaki dimana-mana sama saja, membingungkan.
Dasar bajingan kamu, Jo.
0 komentar:
Posting Komentar