Terkadang
selain menjalankan tugas sebagai pembantu rumah tangga, seseorang ini
sering dimanfaatkan oleh majikannya. Dalam cerita ini kami sajikan
sebuah kisah antara pembantu dengan anak majikannya yang mulai
menyukai seks. Alangkah beruntuk anak yang masih duduk di bangku SMP
itu sudah bisa menyetubuhi pembantunya yang bernama Bi Marni.
Waktu
SMP kelas dua, di rumah ada pembantu, namanya Bi Marni. Aku suka
melihat Bi Marni makannya banyak. Gak heran badannya juga gemuk. Nah,
kebetulan kamarku di lantai dua, dan dibawahnya pas kamar mandi Bi
Marni. Lantai kamarku itu cuma pakai multiplex tebal yang dilapisi
karpet plastik yang agak tebal juga. Di antara lantai kamarku dengan
kamar mandi Bi Marni nggak ada pembatas atau eternitnya.
Aku
cari akal gimana caranya bisa ngintip Bi Marni kalo lagi mandi dari
lantai kamarku. Aku pikir, kalau ada lubang dari kamarku pasti bisa
langsung kelihatan isi kamar mandinya Bi Marni. Lalu aku cari
sela-sela lantai di kolong ranjangku agar tidak mudah ditemukan
orang. Sedikit demi sedikit kulubangi lantai dengan obeng kecil.
Jadilah lubang sebesar satu centimeter tapi cukup besar untuk melihat
sesisi kamar mandi pembantu. Nah, sejak saat itu aku rajin mengintip
Bi Marni mandi dari atas. Bi Marni ini orangnya baik, kulitnya agak
putih, bersih, dan toketnya gede banget. Kadang dia suka mainin
toketnya kalo lagi mandi. Aku sering coli juga kalau pas lagi ngintip
Bi Marni mandi.
Suatu
saat, aku dikasih dua butir pil tidur sama teman. Pil itu aku umpetin
di atas lemari, di sela tumpukan barang-barangku. Nah, aku percaya
kesempatan itu nggak datang dua kali. Suatu ketika, berbulan-bulan
kemudian, keluargaku pada liburan ke rumah Nenek di Jawa Barat. Aku
ditinggal berdua saja dengan Bi Marni karena aku bilang, malas
pergi-pergi.
Malamnya
sehabis makan, aku tumbuk dua butir pil itu di kamarku hingga menjadi
halus sekali dan aku masukkan ke lipatan kertas, lalu aku kantungi di
celana pendekku. Tak lama kupanggil Bi Marni ke atas agar menemaniku
nonton TV di ruang TV yang ada di depan kamarku di lantai dua. Di
ruang TV ini nggak ada kursi sama sekali, cuma pakai permadani lama
saja sebagai alasnya dan beberapa bantal besar.
Sebentar
kita nonton, aku bilang ke Bi Marni mau turun ke dapur mengambil
minum. Aku lalu membuat dua gelas sirup. Yang satu kububuhi tumbukan
pil tidur tadi. Sempat lama mengaduknya karena serbuk itu masih ada
yang mengambang, tapi lama-lama hancur juga. Aku bawa dua gelas sirup
tadi ke atas. Sirup yang sudah dibubuhi serbuk pil tidur kukasihkan
ke Bi Marni. Bi Marni tadinya nolak, tapi aku bilang, “Nggak
apa-apa, Bi. Sekalian tadi bikinnya.”
Sambil
nonton TV, aku ngobrol ngalor-ngidul dengan Bi Marni. Bi Marni ini
seorang janda, umurnya sekitar 30 tahunan. Yang aku pernah dengar
cerita dari Ibuku, Bi Marni dicerai suaminya karena nggak bisa punya
anak. Mungkin mandul. Posisi kita nonton berdua duduk di lantai, tapi
nggak lama, Bi Marni merubah posisinya dari duduk, menjadi tiduran
sambil kepalanya ditopang bantal besar.
Aku
terus ajak dia ngobrol sambil nonton TV. Lama-lama, kok aku kayak
ngomong sendiri? Nggak taunya Bi Marni sudah tertidur. Aku diam
sambil cari akal, ada kali setengah jam sambil melirik posisi Bi
Marni yang tidur melingkar seperti pistol. Bi Marni pakai daster
hijau selutut.
Aku
panggil Bi Marni, “Bi.. Bi Marni..” Tapi tak menjawab. Lalu aku
pegang tangannya sambil kuguncang-guncangkan dan panggil namanya
perlahan, “Bi.. Bi Marni..” Oh, ternyata dia sudah pulas. Aku cek
lagi dengan mengguncang-guncangkan pahanya, “Bi.. Bi Marni..” Dia
tetap diam, napasnya saja yang turun-naik teratur. Ternyata Bi Marni
sudah pulas sekali. Jantungku berdegup keras.
Dengan
terburu-buru aku turun ke bawah untuk mengunci pagar halaman, pintu
depan, dan pintu dapur. Gorden tak lupa kurapatkan. Bret! Lalu aku
matikan lampu ruang tamu dan lampu dapur. Habis itu aku naik lagi ke
atas. Hmm, Bi Marni masih tertidur dengan posisi yang tadi. Lalu
kukunci pintu ruang TV yang mengarah keluar. Gorden jendela
kurapatkan juga. Ah, aman!
Perlahan
kudekati Bi Marni. Kuguncang-guncangkan kakinya lagi. Dia tetap
tidur. Lalu kurubah posisi Bi Marni yang tadinya melingkar, jadi
telentang. Bantal besar yang mengganjal kepalanya perlahan-lahan
kugeser sehingga terlepas dari kepalanya.
Dadaku
terasa sakit karena jantungku berdegup kencang, napasku memburu. Lalu
kuangkat perlahan dasternya dari bawah sampai ke atas perut sambil
melihat mukanya, hmmm masih pulas. Sekarang terlihat paha Bi Marni
yang bulat, besar, agak putih, dan bersih nggak ada bekas lukanya.
Perutnya gemuk berisi. Gundukan CDnya warna krem. Menyembul di atas
perutnya toket besarnya yang ditutupi BH warna krem.
Tapi
aku nggak terlalu penasaran dengan toketnya karena sudah sering
melihatnya.
Aku
lalu coba merunduk. Kuciumi mekinya yang masih pakai CD. Ah, nggak
ada bau apa-apa. Lalu ku elus-elus pahanya serta mekinya
perlahan-lahan sambil sesekali melihat muka Bi Marni. Ah, masih
pulas, pikirku. Malah sekarang sudah mendengkur halus.
Lalu
kupegang gundukan mekinya. Hmm, tebal bangeet. Sebentar, kucoba korek
sedikit mekinya lewat sela CD. Hmm, aku ingat, bulu jembinya sedikit
dan jarang-jarang tumbuhnya. Keringat dingin mulai keluar dan aku
semakin gemeteran. Lama aku begitu, korek-korek meki sambil elus-elus
mekinya Bi Marni dari luar CD, sambil sesekali kulirik mukanya,
khawatir dia terbangun.
Lama-lama
aku makin penasaran, kucoba buka CDnya. Pelan-pelan kuturunkan CDnya
dari bawah pantat sambil terus melihat muka Bi Marni. Uh, berat
banget badannya. Kugeser CDnya sedikit demi sedikit lewat bawah
pantatnya. Keringat dingin mengucur di badanku, padahal angin malam
dari luar menerobos masuk dari atas lubang pintu. Tongkolku yang
terbungkus CD dan celana pendek sudah tegang banget sejak
tadi.
Berhasil!
CD Bi Marni sudah lewat dari pantatnya yang besar. Tanggung,
kuloloskan saja sekalian dari kakinya. Sekarang Bi Marni tidak
memakai CD. Telentang. Bulu jembinya jarang, mekinya tembem dan
rapat. Tongkolku jadi keras banget. Aku beringsut ke bawah kaki Bi
Marni, lalu kurenggangkan kakinya. Wuaah! Ini pengalamanku yang
kuingat terus sampai sekarang. Pertama kali aku bisa melihat meki
cewe dengan bebas, ya saat itu. Hmm, indah sekali.
Lalu
kurenggangkan lagi kaki Bi Marni lebar-lebar sampai badanku dapat
duduk bebas di antara selangkangan kakinya. Bi Marni masih
mendengkur. Aku mulai merunduk di atas meki Bi Marni. Kubuka mekinya
yang tembem dan rapat itu dengan kedua tanganku, perlahan. Hmm,
kuciumi mekinya. Wanginya aneh, tapi justru wangi ini yang nggak akan
kulupakan, gimanaa gitu.
Aku
ingat banget, lubang luar mekinya sempit, cuma segaris saja
keliatannya dari luar.Pas kusibak, warna pinggir lubangnya merah tua
dan dindingnya tebal, lembut, dan lubang dalamnya merah muda serta
berkilat. Napasku mulai terengah-engah.
Kucoba-coba
cari yang mana sih, yang disebut klitoris itu? Aku buka-buka perlahan
mekinya, tapi sepertinya saat itu aku tetap nggak tau deh, yang mana
atau seperti apa bentuknya klitoris (sekarang sih udah tau, hehe..).
Aku semakin penasaran. Lubang meki Bi Marni semakin kuperlebar. Lama
kuperhatikan. Kini terlihat dua belah bibir kecil dengan lubang kecil
ditengahnya. Bibir kecil dan lubang kecil itu berwarna merah jambu
dan agak basah. Tongkolku semakin keras. Jantungku berdetak
keras.
Dengan
tangan kiri, kutahan bibir meki Bi Marni, lalu kumasukkan jari
telunjuk tangan kananku ke dalam lubang kecil itu. Aah, terasa lembut
sekali daging merah jambu didalamnya. Lalu kuangkat jariku, kuciumi
baunya. Ooh, begini toh, bau meki, pikirku cepat.
Lalu
kumasukkan lagi jari tengahku ke dalamnya, kugosok-gosokkan perlahan
jariku di dinding-dinding dalam meki Bi Marni. Uuh, terasa lembut
sekali daging basah di dalamnya. Lama aku begitu sambil sesekali
mengelus-elus bibir luarnya dan menjilat-jilatnya dengan lidahku.
Semakin penasaran, kumasukkan dua jariku ke dalam lubang kecil meki
Bi Marni. Ah, ternyata muat, lalu kugosok-gosokkan lagi bergantian
dengan masuknya ujung lidahku ke dalam lubang kecil itu. Agak
asin-asin gurih gitu, rasanya. Tongkolku semakin keras dan terasa
menyakitkan dibungkus CD dan celana pendek. Ah, kucoba masukkan
tongkolku ke dalam mekinya Bi Marni, pikirku waktu itu. Cepat-cepat
karena napsu, kupelorotkan saja celana pendek serta CDku. Kaos masih
kupakai. Lalu kuambil posisi badanku di atas Bi Marni yang masih
pakai daster cuma CDnya saja yang sudah lepas.
Dengan
satu tangan, kudekatkan tongkolku ke mekinya Bi Marni.
Kugosok-gosokan di bibir luar meki dan bulu jembinya. Seer, seer,
asik deh. Terus, kucoba masukkan tongkolku ke dalam mekinya. Duh,
susah banget. Lalu kubasahi tongkolku dengan ludah yang banyak.
Kucoba lagi naik di atas Bi Marni seperti orang mau push-up.
Pelan-pelan dengan satu tangan kumasukkan tongkolku. Bless! Masuk
kepala tongkolku yang berkilat dan licin. Pelan-pelan kusodokkan lagi
dibantu dengan tanganku. Bless! Makin dalam. Rasanya hangat gitu. Bi
Marni masih pulas, malah keluar liur dari bibirnya.
Perlahan
dengan napas memburu, kumaju-mundurkan tongkolku. Ugh! Rasanya hangat
dan agak geli-geli gitu. Ada kali sekitar sepuluh menit aku
maju-mundurkan tongkolku. Keringat dingin makin deras menetes dari
badanku. Jantungku makin berdegup kencang. Daging lembut yang hangat
dan licin karena basah ludahku terasa membelai-belai tongkolku.
Sampai tiba-tiba terasa terasa pejuku mau keluar. Aku coba tahan tapi
tak kuasa. Buru-buru kucabut tongkolku. Aku kocok sedikit, dan peju
pun muncrat di permadani. Crut! Crut!
Setelah
itu yang aku ingat saat itu adalah rasa bersalah yang timbul. Dengan
napas yang masih terengah-engah karena dadaku berguncang keras,
buru-buru kubersihkan peju yang berceceran di permadani. Secepat
kilat kupakaikan CDnya Bi Marni lagi sambil kurapihkan dasternya.
Lalu aku berlari ke kamar mandi yang ada di samping kamarku. Setelah
itu aku masuk kamarku dan kubiarkan TV menyala dengan Bi Marni yang
masih tertidur pulas di depannya. Aku tertidur pulas sampai
pagi.
Paginya
Bi Marni sudah masak sarapan pagi buatku. Seperti nggak ada apa-apa
dan biasa aja. Kejadian itu cuma sekali sampai Bi Marni pulang
kampung saat aku SMA untuk dikawinkan dengan orang sekampungnya.
Lebih dari itu, aku nggak berani karena takut Bi Marni bilang ke
orangtuaku
0 komentar:
Posting Komentar