Sudah
dua jam lebih Upit menunggu lewatnya bus jalur 6A yang biasanya
mengantarkannya pergi pulang sekolah. Ya, hanya bus rakyat itulah
satu-satunya sarana transportasinya dari Godean ke SMP Negeri favorit
di bilangan dekat perguruan tinggi negeri. Tapi sejauh ini, bus itu
belum nongol-nongol juga. Padahal kakinya sudah semutan terus berdiri
di depan proyek bangunan berlantai tiga yang rencananya untuk
restoran ayam goreng terkenal dari Amerika itu. Upit yang kelas satu
dan belum sebulan ini masuk sekolah barunya, melirik sekali lagi jam
tangannya hadiah dari kakaknya yang kerja di Batam. Pukul lima siang
lewat sepuluh menit. Inilah arloji hadiahnya jika masuk SMP favorit.
Gadis 12 tahun bertubuh imut tapi tampak subur itu memang pintar dan
cerdas. Tak heran jika ia mampu menembus bangku sekolah
idamannya.
Cuaca
di atas langit sana benar-benar sedang mendung. Angin bertiup
kencang, sehingga membuat rambut panjang sepinggangnya yang lebat
tapi agak kemerahan itu berkibar-kibar. Hembusannya yang dingin
membuat gadis berkulit kuning langsat dan berwajah ayu seperti artis
Paramitha Rusady itu memeluk tas barunya erat-erat untuk mengusir
hawa dinginnya. Berulang kali bus-bus kota lewat, tapi jalur yang
ditunggu-tunggunya tak kunjung lewat juga. Sejenak Upit menghela
nafasnya sambil menebarkan pandangannya ke seluruh calon penumpang
yang berjejalan senasib dengannya. Lalu menengok ke belakang,
memperhatikan pagar seng bergelombang yang membatasi dengan lokasi
pembangunan proyek tersebut. Tampak puluhan pekerjanya yang tengah
meneruskan kegiatannya, walaupun cuaca sedang jelas hendak hujan
deras. Hilir mudik kendaraan yang padat kian membuat kegelisahannya
memuncak.
Mendadak
hujan turun dengan derasnya. Spontan saja, Upit dan tiga orang calon
penumpang bus kota yang di antaranya dua pasang anak SMA dan seorang
bapak-bapak secara bersamaan numpang berteduh masuk ke lokasi proyek
yang pintunya memang terbuka dan di sana terdapat bangku kayu serta
teduh oleh tritisan beton. Sedangkan belasan orang lainnya memilih
berteduh di depan toko fotocopy yang berada di sebelah bangunan
proyek itu. “Numpang berteduh ya, Pak!” pinta ijin bapak-bapak
itu disahuti teriakan “iya” dari beberapa kuli bangunan yang
turut pula menghentikan kerjanya lalu berteduh di dalam bangunan
proyek. Tapi dalam beberapa menit saja, bapak tua itu telah berlari
keluar sambil berterima kasih pada para kuli bangunan setelah melihat
bus kota yang ditunggunya lewat.
Tak
sampai lima menit kedua anak SMA itupun mendapatkan bus mereka. Kini
Upit sendirian duduk menggigil kedinginan.
“Aduh..!”
kaget Upit yang tersadar dari lamunannya itu tatkala sebuah bus yang
ditunggunya lewat dan berlalu kencang. Tampak wajah gelisah dan
menyesalnya karena melamun.
“Mau
pakai 6A, ya Dik?” tanya seorang kuli yang masih muda belia telah
berdiri di sampingnya Upit yang tengah mondar-mandir di depan
bangku.
Upit
sempat kaget, lalu tersenyum manis sekali.
“Iya
Mas. Duh, busnya malah bablas. Gimana nih?!”
“Tenang
saja, jalur 6A-kan sampai jam tujuh malam. Tunggu saja di sini, ya!”
ujarnya sambil masuk ke dalam.
Upit
hanya mengangguk ramah, lalu duduk kembali di bangkunya, yang
sesekali waktu dia menengok ke arah timur, kalau-kalau terlihat bus
jalur 6A lewat. Setengah jam lewat. Tak ada tanda-tanda bus itu
lewat. Upit melihat ke dalam gedung yang gelap itu, tampak sekitar
lima puluh kuli sedang istirahat. Sebagian asyik ngobrol, lainnya
merokok atau mandi di bawah siraman air hujan. Lainnya terlihat
terus-menerus memperhatikan Upit. Perasaan tak enak mulai menyelimuti
hatinya.
Belum
sempat otaknya berpikir keras untuk dapat keluar dari lokasi proyek,
mendadak sepasang tangan yang kuat dan kokoh telah mendekap mulut dan
memiting lehernya. Upit kaget dan berontak. Tapi tenaga kuli kasar
itu sangatlah kuat, apalagi kuli lainnya mengangkat kedua kaki Upit
untuk segera dibawanya masuk ke dalam bangunan proyek.
“Diam
anak manis! Atau kami gorok lehermu ini, hmm!” ancam kuli yang
telanjang dada yang menyekapnya itu sambil menempelkan sebilah belati
tajam di lehernya, sedangkan puluhan kuli lainnya tertawa-tawa senang
penuh nafsu birahi memandangi kemolekan tubuh Upit yang sintal padat
berisi itu. Upit hanya mengagguk-angguk diam penuh suasana takut yang
mencekam. Tak berapa lama gadis cantik itu sesenggukan. Tapi apalah
daya, suara hujan deras telah meredam tangis sesenggukannya.
Sedangkan tawa-tawa lima puluh enam kuli usia 16 sampai yang tertua
45 tahun itu kian girang dan bergema sembari mereka menanggalkan
pakaiannya masing-masing.
Upit
melotot melihatnya.
“Jangan
macam-macam kamu, ya. Hih!” ancamnya lagi sambil membanting tubuh
Upit di atas hamparan tenda deklit oranye yang sengaja digelar untuk
Upit. Tas sekolahnya diserobot dan dilempar ke pojok. Upit tampak
menggigil ketakutan. Wajahnya pucat pasi menyaksikan puluhan kuli itu
berdiri mengelilingi dirinya membentuk formasi lingkaran yang
rapat.
“Tolong..
tolong ampuni saya Pak.. jangan sakiti aku.. kumohon.. toloong, ouh..
jangan sakiti aku..” pinta Upit merengek-rengek histeris sambil
berlutut menyembah-nyembah mereka.
Tapi
puluhan kuli itu hanya tertawa ngakak sambil menuding-nuding ke arah
Upit, sedangkan lainnya mulai menyocok-ngocok batang zakarnya
masing-masing.
“Buka
semua bajumu, anak manis! Ayo buka semua dan menarilah dengan
erotisnya. Ayo lakukan, cepaat!” perintah yang berbadan paling
kekar dan usia sekitar 30 tahun itu yang tampaknya adalah mandornya
sambil mencambuk tubuh Upit dengan ikat pinggang
kulitnya.
“Cter!”
“Akhh..
aduh! Sakit, Pak.. akhh..!” jerit kesakitan punggungnya yang kena
cambuk sabuk.
Tiga
kali lagi mandor itu mencabuk dada, paha dan betisnya. Sakit sungguh
minta ampun. Upit menjerit-jerit sejadinya sambil meraung-raung minta
ampun dan menangis keras. Tapi toh suaranya tak dapat mengalahkan
suara hujan.
“Cepat
lakukan perintahku, anak manja! Hih!” sahut mandor sambil
melecutkan sabuknya lagi ke arah dada Upit yang memang tumbuhnya
belum seberapa besarnya, bisa dikatakan, buah dadanya Upit baru
sebesar tutup teko poci. Upit kembali meraung-raung.
“Iya..
iya Pak.. tolong, jangan dicambuki.. sakiit.. ouh.. ooh.. huk..
huuh..” ucap Upit yang telah basah wajahnya dengan air
mata.
Ucapannya
itu disahuti oleh gelak tawa para kuli yang sudah tak sabar lagi
ingin menikmati makan sore mereka.
“Aduuh,
udah ngaceng nih, buruan deh lepas bajunya.”
“Iya,
nggak tahan lagi nih, mau kumuntahkan kemananya yaa?”
Perlahan
Upit beranjak berdiri dengan isak tangisnya.
“Sambil
menari, ayo cepat.. atau kucambuk lagi?” desak mandor
mengancam.
Upit
hanya mengangguk sambil menyadari bahwa batang-batang zakar mereka
telah ereksi semua dengan kencangnya.
Upit
perlahan mulai menari sekenanya sambil satu persatu memreteli kancing
seragam SMP-nya, sedangkan para kuli memberikan ilustrasi musik lewat
mulut dan memukul-mukulkan ember atau besi. Riuh tapi berirama
dangdut. Sorak-sorai mewarnai jatuhnya bajunya. Upit kian pucat. Kini
gadis itu mulai melepas rok birunya. Kain itu pun jatuh ke bawah
dengan sendirinya. Kini Upit tinggal hanya memakai BH dan CD serta
sepatu. Sepatu dilepas. Upit lama sekali tak melepas-lepas BH dan
CD-nya. Dengan galak, mandor mencabuk punggungnya.
“Cter!”
“Auukhh..
ouhk..!” jerit Upit melepas BH dan CD-nya dengan buru-buru.
Tentu
saja dia melakukannya dengan menari erotis sekenanya. Terlihat jelas
bahwa Upit belum memiliki rambut kemaluan. Masih halus mulus serta
rapat. Tepuk tangan riuh sekali memberikan aplaus.
Sedetik
kemudian, rambut Upit dijambak untuk dipaksa berlutut di depan
mandor. Upit nurut saja.
“Ayo
dikulum, dilumat-lumat di disedoot.. kencang sekali, lakukan!”
perintahnya menyodorkan batang zakarnya ke arah mulut Upit.
Upit
dengan sesenggukan melakukan perintahnya dengan wajah jijik.
“Asyik..
terus, lebih kuat dan kencang..!” perintahnya mengajari juga untuk
mengocok-ngocok batang zakar mandor.
Upit
dengan lahap terus menerus menyedot-nyedot batang zakarnya mandor
yang sangat keasyikan. Seketika zakar itu memang kian ereksi
tegangnya. Bahkan mandor menyodok-nyodokkan batang zakarnya ke dalam
mulut Upit hingga gadis itu nyaris muntah-muntah karena batang zakar
itu masuk sampai ke kerongkongannya.
Di
belakang Upit dua kuli mendekat sambil jongkok dan masing-masing
meremas-remas kedua belah buah dadanya Upit sembari pula
mempintir-plintir dan menarik-narik kencang puting-puting susunya
itu.
“Ouuhk..
hmmk.. aauuhk.. hmmk..!” menggerinjal-gerinjal mulut Upit yang
masih menyedot-nyedot zakar mandor.
Tak
berapa lama spermanya muncrat di dalam mulut Upit.
“Creeot..
cret.. croot..!”
“Telan
semua spermanya, bersihkan zakarku sampai tak tersisa!” perintah
galak sambil menjambak rambut Upit.
Gadis
itu menurut pasrah. Sperma ditelannya habis sambil menjilati lepotan
air mani itu di ukung zakar mandor sampai bersih.
Mandor
mundur. Kini Upit kembali melakukan oral seks terhadap zakar kuli
kedua. Dalam sejam Upit telah menelan sperma lima puluh enam kuli!
Tampak sekali Upit yang kekenyangkan sperma itu muntah-muntah
sejadinya. Tapi dengan galak mandor kembali mencambuknya. Tubuh bugil
Upit berguling-guling di atas deklit sambil dicambuki omandor. Kini
dengan ganas, mereka mulai menusuk-nusukkan zakarnya ke dalam vagina
sempit Upit. Gadis itu terlihat menjerit-jerit kesakitan saat
tubuhnya digilir untuk diperkosa bergantian. Sperma-sperma berlepotan
di vagina dan anusnya yang oleh sebagian mereka juga melakukan sodomi
dan selebihnya membuang spermanya di sekujur tubuhnya Upit. Upit
benar-benar tak tahan lagi. Tiga jam kemudian gadis itu pingsan.
Dasar kuli rakus, mereka masih menggagahinya. Rata-rata memang
melakukan persetubuhan itu sebanyak tiga kali. Darah mengucur deras
dari vagina Upit yang malang
0 komentar:
Posting Komentar